Monday, January 9, 2006

Sebuah Layar untuk Leo Sutanto

Bagi Leo Sutanto, langit adalah batasnya yang terakhir. Dan dia tahu, karena langit tak memiliki tepi, tak mempunyai atap, maka cita-cita Leo Sutanto tak pernah berbatas.

Jika serial televisi Dunia Tanpa Koma dianggap sebuah proyek "gila" oleh rekan-rekannya, Leo menjawabnya dengan senyum. Dia tak bergeser barang satu milimeter dari keinginannya. Dianggap proyek "gila" bukan saja karena cita-cita untuk memburu Dian Sastrowardoyo dan "meletakkan wajah Dian" di televisi dianggap sebuah kemustahilan saat itu, tetapi juga karena Leo memutuskan menggunakan sekitar 60 pemain terkemuka yang sudah punya nama sebagai pemeran pendukung. Bahkan peran-peran "numpang lewat pun" dimainkan oleh nama besar.

Itu semua dilakukan untuk mengejar keinginan yang sejak lama dipendamnya: melahirkan karya televisi berdasarkan season (musim) seperti yang lazim dilakukan di stasiun luar negeri.

Karena itu, saat Dian Sastrowardoyo bulan Juni setahun silam menyetujui untuk ikut bermain dalam serial ini setelah membaca sinopsis tujuh episode awal-yang bahkan belum menjadi skenario-maka proyek inipun bergulir dengan cepat.

Lahir di Jakarta, 19 Desember 1947, Leo Sutanto adalah anak kelima dari enam bersaudara. Ayahnya seorang pedagang yang senang membaca buku dan menonton film. "Koleksi buku silat ayah saya, saya lahap habis," katanya tertawa. Leo mengaku dia tumbuh menjadi penggemar film Mandarin seperti Killer Clan karya sutradara Chu Yen. Setelah dewasa dia mengaku tergila-gila dengan trilogi The Godfather karya Francis Ford Coppola. "Saya menyaksikannya sampai 25 kali dan tidak bosan-bosan," katanya. "Kalau lagi capek dan suntuk, saya puter lagi film The Godfather, jadi terhibur."

Leo mengaku semua film-film yang dibintangi Al Pacino sudah ditontonnya. Film Indonesia? "Yang betul-betul melekat di kepala saya adalah film Si Doel Anak Modern karya Syumanjaya, itu sebuah film komedi yang dibintangi Benyamin dan Christine Hakim, tapi saya malah nangis nontonnya karena menyentuh."

Dengan fanatisme Leo terhadap buku dan film, dia kemudian memberanikan diri menerjemahkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Mandarin untuk dirinya. "Karya Pramoedya mempunyai tempat yang khusus di hati saya, terutama Bumi Manusia," katanya. Itulah sebabnya, kelak di kemudian hari novel inipun menjadi obsesi Leo berikutnya yang ingin diwujudkan untuk menjadi film layar lebar.

Selama 25 tahun Leo Sutanto berkecimpung di dunia layar lebar sebagai general manager di jaringan bioskop 21. Pekerjaannya membeli film-film di luar negeri menambah jam terbangnya untuk kemudian menjadikan Leo orang yang sangat memahami film yang memiliki nilai artistik sekaligus komersil.

"Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan 21, saya merenung dulu.....karena artinya saya akan memulai dari nol lagi," katanya. Tetapi Leo memang gemar memulai trend. Gemar memulai sesuatu yang baru. Keputusannya untuk berkecimpung dalam dunia rumah produksi kelak menjadi sebuah "trade mark" bagi dirinya di dunia pertelevisian.

Tahun 1997, Leo mendirikan sebuah rumah produksi bersama Ilham Bintang bernama Era Mandiri Graindo. "Hanya sebentar, lalu saya hijrah...." kata Leo. Dia kemudian bergabung di rumah produksi Indika sebagai produser. Produksi pertama Leo adalah sinetron Cinta yang dibintangi oleh Dessy Ratnasari dan Primus Yustisio dan disutradarai Maruli Ara. Sinetron ini kemudian menggegerkan penonton karena Maruli menampilkan adegan percintaan yang sungguh orisinal dan manis yang tak pernah ditampilkan sutradara televisi lainnya. "Maruli memang sangat ahli dalam menampilkan adegan-adegan kemesraan," kata Leo. Ini juga terlihat bagaimana seriusnya Maruli dalam serial Dunia Tanpa Koma menangani adegan mesra tokoh Raya (Dian Sastrowardoyo) dan Bram (Fauzi Baadilla), hingga Maruli minta waktu beberapa lama agar mood pemain bisa dibangun. Dalam hal ini Leo membebaskan Maruli untuk melakukan apa saja demi adegan yang dia bayangkan. "Hasilnya memang begini," kata Leo mengacungkan jempol melihat adegan Raya dan Bram pada episode pilot yang wajahnya berdekatan begitu rupa tanpa saling menyentuh barang seusapanpun. "Adegan itu justru jauh lebih sensual daripada seandainya mereka berciuman," kata Leo.

Tahun 1999, bersama beberapa teman, Leo mendirikan Prima Entertainment. Di rumah produksi inilah dia memulai tradisi baru yang kelak menjadi sebuah nama generik: FTV (Film Televisi), sebuah sinema televisi lepas dengan durasi yang sama dengan layar lebar. Untuk beberapa saat, pemirsa televisi sempat terhibur dengan format FTV yang memberikan kisah-kisah yang berbeda setiap pekan.

Toh untuk beberapa lama, "saya merasa tak puas karena ide saya banyak yang tak tersalurkan. "Saya keluar dari Prima dan memutuskan : saya nggak bisa kongsi dengan orang lain," kata Leo. Sejak itu, Leo memutuskan untuk mendirikan sebuah perusahaan bersama keluarganya.

SYAHDAN di bulan November 2002, Leo Sutanto memulai bisnisnya tanpa kantor, tanpa kartu nama tanpa komputer atau sekretaris. "Kami melakukan deal bisnis dari hotel ke hotel, sampai credit card saya jebol," kata Leo terkekeh-kekeh. "Kami" disini selain Leo Sutanto tentu saja ada nama-nama Heru Hendriyarto, Sentot Sahid dan Lala Hamid. Baru pada Februari 2003, Leo Sutanto memiliki sebuah kantor di kawasan Kebayoran Lama. "Dengan meja cuma dua buah, kami membangun perusahaan kami dengan nama SinemArt," kata Leo. Leo mengaku, saat ini, dia hanya bergerak dengan modal seadanya, jam terbang dan kegemarannya menyaksikan film dan serial televisi dari berbagai negara. "Tetapi yang paling saya andalkan dari diri saya adalah insting."

Seperti yang disarankan namanya, Leo menyatakan SinemArt menginginkan produk film televisinya adalah produk yang bisa diterima oleh penonton. "Saya ingin SinemArt menghasilkan karya yang berbeda, memang ngepop, tapi pengerjaannya harus serius, harus sempurna!" katanya dengan semangat. Produksi pertama SinemArt adalah sinetron Malam Pertama yang dibintangi Marcella Zalianty ditayangkan stasiun SCTV yang mulai merebut perhatian penonton. "Tetapi yang kemudian membuat heboh adalah serial Ada Apa dengan Cinta," kata Leo. Dan keputusan membuat sinetron inipun adalah hasil dari sebuah "insting".

Adalah Mira Lesmana, produser Miles Production yang menawarkan Leo Sutanto hak pembuatan sinetron Ada Apa dengan Cinta. "Saya tak berpikir lebih dari sedetikpun," kata Leo. "Langsung saya terima angka yang disebut ibu M," demikian panggilan akrab Mira dari Leo. Impulsif?

"Ya. Pak Leo memang impulsif dan bergerak berdasarkan insting," kata Mira Lesmana yang juga mengajak Leo Sutanto untuk ikut investasi dalam film Gie karya Riri Riza. Itupun diakui oleh Leo diputuskan hanya dalam beberapa menit saja. "Saya masuk ke toilet, lalu keluar lagi dan langsung saya salami ibu M. Oke,saya ikut," katanya terkekeh.

Gerakan berdasar insting seperti ini memang sering membuat orang-orang disekeliling Leo "jantungan". "Tidak apa, saya ada hitung-hitungannya," demikian Leo menenangkan orang-orang di sekelilingnya. Dan apapun hitung-hitungannya, sebaiknya orang percaya saja pada Leo, karena kalaupun film itu tak menghasilkan laba, Leo paham betul bahwa dia akan mendapatkan prestise dan citra. Di masa yang akan datang, orang akan paham "citra" dan "prestise" tidak bisa dibeli dengan uang, melainkan berdasarkan kepercayaan.

Bagaimana cara Leo membuat sinetron AADC sukses, sementara pemeran utama Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra yang berperan sebagai Cinta dan Rangga dalam versi layar lebar tak bersedia untuk tampil di televisi untuk sinetron ini?". Nggak masalah. Saya mencari cara dengan membuat sinetron ini heboh."

Yang namanya heboh adalah: mengadakan audisi untuk pemeran Cinta dan keempat kawannya serta Rangga. Saat itu AFI dan Indonesian Idol belum mulai. Leo berhasil membuat penonton menoleh. Tokoh Cinta yang kemudian diperankan oleh Ririn Dwi Aryanti dan Rangga oleh Revaldo bertahan lebih dari setahun di stasiun RCTI dan untuk waktu yang lama bertahan memegang rating.

Rating memang menjadi sebuah "pegangan" baru bagi stasiun televisi dan pemegang iklan. "Memang teman-teman sineas mengeluh, karena jalan cerita bisa berbelok akibat rating," kata Leo. Leo memahami mengapa para sineas dan pemain film serius banyak yang menjauhi televisi untuk waktu yang lama. Tapi Leo realistik, "saya mencari uang dari rating."

Setiap malam, dari jam 11 sampai jam 2 pagi,Leo dan timnya mengadakan rapat ditemani rokok, kopi dan makanan yang berlimpah. Mereka membicarakan jalan cerita dan penggarapan sinetron yang jumlahnya puluhan itu. Hasilnya, SinemArt dalam waktu tiga tahun saja berhasil memproduksi sekitar 50 judul sinetron yang hampir semuanya masuk dalam 10 besar rating.

"Pak Leo sendiri langsung ikut membaca script dan memberi pendapat," kata Heru. Tetapi, Leo mengaku, sembari berbisnis, dia tetap memiliki banyak impian. "Saya mewujudkan impian dengan membuat serial televisi dengan sistem musim seperti Dunia Tanpa Koma dan film layar lebar bersama anak-anak saya. Memang konsekuensinya besar, tapi kepuasannya berbeda."

Seorang pengusaha bioskop berucap tentang Leo, "saya kagum pada Leo karena dia betul-betul berproduksi dengan uang dari kantungnya sendiri dan konsekuen dengan hasilnya," katanya.

MENERIMA KONSEKUENSI. Ini memang satu keistimewaan Leo yang jarang ditemukan pada produser lain. Sutradara Maruli Ara mengatakan bahwa jika Leo sudah memutuskan untuk membuat sebuah proyek, dia akan betul-betul bertahan dengan komitmennya. "Dan yang hebat, apapun hasil akhirnya, dia tak akan mengeluh atau memaki-maki sutradaranya," kata Maruli.

Namun keistimewaan Leo yang penting bagi Maruli adalah selain dia produser yang paham bisnis, dia juga paham sisi artistik sebuah film," kata Maruli, "jarang ada produser yang memahami kedua faktor itu." Dan yang terakhir, yang paling diimpikan setiap sutradara adalah, jika Leo sudah mempercayai seseorang, "dia akan memberi kebebasan sepenuhnya dalam eksekusi pembuatan," kata Maruli.

Soal kepercayaan ini memang diperoleh sutradara seperti Maruli Ara dan Rudi Soedjarwo. Begitu mereka memegang sebuah proyek, Leo tak akan mengganggu eksekusi apapun yang diselenggarakan kedua sutradara ini. "Saya biasanya memberi pendapat pada hasil akhir saja," kata Leo. "Saya percaya penuh pada eksekusi mereka. Saya tahu seniman akan jengkel diganggu-ganggu kerjanya."

PERSOALAN berurusan dengan seniman ini pula yang diajarkan Leo kepada tiga dari empat orang anaknya (anak lelakinya yang bungsu yang masih sekolah belum dilibatkan dalam bisnis ini).

Kepada Novi, Mitzy dan Cindy Christina-yang disebut Mira Lesmana sebagai "Leo's Angels"-Leo mengaku mencoba memberikan sebuah pengalaman bekerja keras. "Saya tak ingin mereka tumbuh menjadi manja dan seenaknya," katanya tegas.

Leo mencontohkan bagaimana banyak anak-anak bos di berbagai perusahaan besar lain yang dilibatkan dalam bisnis keluarga yang cenderung ongkang-ongkang. "Saya melihat, ada anak-anak pimpinan perusahaan yang biasanya hanya dapat nama dan kreditnya seperti tuan besar, sementara yang bekerja adalah orang lain," Leo bertutur jengkel menceritakan beberapa perusahaan yang sempat menawarkan kerjasama dengan "anak" bos.

"Saya kapok bekerja dengan orang lain dan saya tak ingin anak-anak saya menjadi seperti anak-anak bos perusahaan yang enak-enak saja. Saya ingin mereka memahami apa artinya kerja keras dan hasil yang sempurna," katanya tegas.

Dengan prinsip kerja yang spartan seperti ini, ketiga puterinya memang harus segera "berkejaran" dengan nafas Leo yang jarang lelah itu.

Tapi Alhamdullilah, di tengah tuntutan Leo yang kenceng itu, Leo mengaku hubungannya dengan anak-anaknya hampir seperti kawan karena mereka semua tumbuh dengan buku dan film. "Saya bersyukur anak-anak saya memang menyukai buku dan film, meski saya harus akui karena sekarang zamannya berbeda, selera kami juga tak selalu sama."

Lazimnya Leo mendengarkan pendapat anak-anaknya, meski bisa saja sangat berbeda ujung pangkalnya karena perbedaan generasi, namun "saya harus demokratis. Saya memberikan ruang seluas-luasnya kepada mereka, karena satu-satunya yang bisa saya berikan adalah pengalaman bekerja." Leo mengaku bahwa dalam bisnis dan dalam kesenian film, "ada hal-hal yang tak bisa diajarkan, bahkan kepada anak sendiri, misalnya insting."

Leo mengharapkan insting itu bisa terasah pada anak-anaknya seiring berjalannya waktu dan jika belajar pada para sineas dan produser yang lebih senior. Hasil dari "sekolah" Leo kepada anak-anaknya adalah film-film Disini Ada Setan (2004) karya Purnomo Chakil, Mengejar Matahari (2004) karya Rudi Soedjarwo, Brownies (2004) karya Hanung Bramantyo, Tentang Dia (2005) karya Rudi Soedjarwo, Ungu Violet (2005) karya Rako Prijanto, Mirror (2005) karya Hanny R.Saputra dan Jomblo (2006) karya Hanung Bramantyo. Film-filmnya ini yang telah menghasilkan berbagai penghargaan di dalam dan di luar negeri.

Leo memang cenderung menggunakan sutradara dari generasi yang masih muda. Dia berani menunjuk orang-orang yang belum pernah membuat film layar lebar sebelumnya, seperti Hanung Bramantyo dan Rako Prijanto. "Saya ingin memberi kesempatan kepada para sineas muda yang berpotensi," katanya.

"Pak Leo memang punya respek tinggi pada filmakers muda Indonesia," kata Mira Lesmana, "dan yang perlu kami tiru sebetulnya semangatnya itu lo.....dia selalu bergairah menggali tema baru bersama para sutradara baru."

Soal semangat ini memang penting. Kalau produsernya saja sudah ogah-ogahan, timnya juga pasti ikut lemes. "Saya seneng sekali kalau pak Leo bersemangat menggebu-gebu dengan sebuah proyek. Saya jadi ikut terinspirasi, karena pak Leo bisa meyakinkan bahwa impian-impiannya itu adalah impian kita semua." kata Maruli Ara.

IMPIAN LEO Sutanto memang tak terbatas. Langit adalah batasnya. Di samping keinginan menemukan sineas baru, Leo tetap juga mewujudkan impian-impiannya melalui sutradara yang sudah mapan seperti Rudi Soedjarwo dan Hanny Saputra. " Pak L (demikian panggilan Rudi kepada Leo) sudah seperti ayah untuk saya," kata Rudi yang saat ini sedang menyutradarai sebuah film produksi Sinemart berjudul Mendadak Dangdut.

Soal sosok ayah ini ternyata bukan monopoli Rudi. Dian Sastrowardoyo menganggap Leo sebagai "sosok ayah yang mengayomi kami semua." "Bekerja untuk seorang "ayah" seperti Pak Leo tidak terasa seperti bekerja, tapi seperti berbuat sesuatu untuk keluarga sendiri, dengan cinta..." kata Dian. Dian menunjukkan kesetiaannya dengan bekerja hanya untuk serial Dunia tanpa Koma selama tujuh bulan meski ia dikejar-kejar rumah produksi lain yang mengibar-ngibarkan honor yang menggiurkan. "Selain saya memang tak bisa akting di dua produksi sekaligus, saya ingin konsentrasi pada produksi DTK."

Dian juga sangat menghargai gaya Leo yang langsung turun sendiri menghubungi Dian, saat Ulang Tahun atau saat mengucapkan Minal Aidin. "Saya dengan mudah bisa menelpon Pak Leo jika saya mengusulkan banyak hal untuk produksi DTK sehingga saya merasa DTK ini milik kita bersama, bukan hanya milik SinemArt......" kata Dian.

Impian Leo Sutanto untuk membuat sebuah serial berdasarkan sistem season (musim) kini sudah terwujud. "Memang orang menganggap saya gila, tapi kegilaan saya ini untuk pemirsa, bukan untuk diri saya sendiri," katanya di suatu malam, di kantor Kedoya yang kini sudah lengkap dengan meja, screening room, editing room, sound system dan seterusnya yang sungguh sip itu.

Tetapi, tiga tahun perjalanan SinemArt yang melejit itu nampaknya masih belum memenuhi impian Leo. Diantara asap rokok dan secangkir kopi (dia khusus memasang mesin pembuat kopi agar anak-anak dan timnya tidak punya alasan ngopi di luar kantor), Leo menghela nafas dan mengucapkan mimpi-mimpinya yang belum terwujud, "saya masih ingin membuat film Bumi Manusia.....masih ingin mengejar sutradara Ang Lee.....masih ingin membuat DTK season dua, karena season satu adalah sebuah langkah awal....masih kepingin mewujudkan filmnya Mariana ini dengan sempurna.... masih ingin membuat serial yang dinamis seperti ER....masih ingin membuat sebuah film layar lebar yang berkisah tentang roman yang pedih hingga ke tulang sumsum seperti Gone with the Wind, tanpa harus banyak adegan airmata dengan Dian sebagai pemain utamanya.....masih kepingin bikin Panji Tengkorak.......mudah-mudahan saya masih diberi umur panjang."

Matanya menerawang. Dan tak ada yang bisa menghalangi dia bermimpi. Leo selalu mempunyai layar dalam benaknya sendiri, dan dia kemudian memutar mimpi-mimpinya seperti seorang projektor memutar film-film yang diangankannya.

Bagi Leo Sutanto, langit adalah batasnya yang terakhir.