Friday, June 20, 2008

Tutie Kirana, Kembali ke Layar Lebar

Di tengah maraknya wajah segar yang berseliweran di layar lebar, terselip satu-dua yang terhitung veteran. Tutie Kirana menjadi salah satu nama yang dimaksud. Ibu dari Djenar Maesa Ayu ini termasuk aktris yang belakangan ini laris manis dan selalu muncul dalam film nasional. Pemilik nama asli Puji Astutie ini mulai tampil lagi sejak lima tahun silam dalam besutan Nia Dinata. Ca Bau Kan, setelah absen belasan tahun.

Saat ditawari bermain film itu Tutie sempat bertanya kepada Nia tentang siapa yang merekomendasikan namanya. ”Tahu nama Ibu dari Oom Remy,” terang Tutie mengulang ucapan sang sutradara. Remy Silado adalah penulis novel Ca Bau Kan, yang diangkat Nia ke layar lebar dengan judul yang sama.

Remy dan Tutie sendiri sempat main bareng dalam film Tinggal Sesaat Lagi, yang dibesut oleh sutradara Edward Pesta Sirait. Lewat film yang sama, Tutie masuk unggulan untuk Peran Pembantu Terbaik dalam FFI 1987. Dan setelah film tersebut kemudian namanya hilang dari gemerlap layar perak.

Kendati mengaku tidak tampil maksimal, tak pelak Ca Bau Kan menjadi peretas jalan Tutie untuk kembali di jalur film nasional. Pasalnya, setelah film itu beredar, berbondong-bondong sutradara meminangnya untuk tampil dalam film-film mereka. Sebut saja nama-nama macam Riri Riza (Gie dan Tiga Hari untuk Selamanya), Rudi Soedjarwo (Pocong 1—tak jadi diedarkan, dan In the Name of Love), Lola Amaria (Betina), Lance (Jakarta Undercover), dan terakhir ada Viva Westi (May).

Kisah tentang terjunnya Tutie ke dunia film terdengar sungguh klasik: main film karena mengantar saudara atau teman. Alkisah, awal 1970-an, Tutie datang mengantar rekannya Nuke Maya Saphira ke tempat Ratno Timoer. Sutradara Pitrajaya Boernama saat melihat Tutie langsung kepincut dan memberinya peran yang sama dengan pemain yang sudah lebih berkelas macam Nuke dan Camelia Malik dalam film Pendekar Bambu Kuning. Sedangkan Ratno Timoer sendiri menjadi pemeran utama dalam film yang dimaksud.

Pengalaman serupa terjadi lagi pada film berikut, Mama. Ketika itu, Tutie mengantar Agus Melasz berangkat casting pada sutradara Wim Umboh. Lagi-lagi Wim malah lebih tertarik kepada yang mengantar. ”Wah, gue ngga mau lakinya. Gue mau bininya aja,” demikian Tutie menirukan ucapan sang sutradara puluhan tahun silam. Walhasil, Tutie didapuk untuk sebuah peran utama dalam film 70 mm itu.

Kendati sempat bersuamikan seorang sutradara besar macam Sjuman Djaya tidak membuat Tutie kemaruk untuk tampil dalam filmnya. ”Aku bukan tipe orang yang aji mumpung,” ungkap Tutie.

Diakuinya, di era itu banyak aktris yang suaminya sutradara memanfaatkan betul kesempatan itu. ”Kalau aku mau Bung Sjuman itu membuat film kayak Atheis atau apa itu lamaran apa (maksudnya Pinangan- red), itu adalah peran-peran yang sebetulnya Bung Sjuman minta aku main pada saat itu. Tapi aku nolak,” terang Tutie. Alasannya, dia ingin menjadi dirinya sendiri.

Tak semua film yang disutradarai Sjuman, Tutie menolak untuk main. Ada satu alasan yang membuatnya mau berakting dalam Si Doel Anak Betawi. ”Karena aku ngefans ke Benyamin S,” terang Tutie tanpa ragu. Dia menyebut Benyamin luar biasa. ”Sampai ngga bisa syuting. Lihat tampangnya ketawa aja. Habis ekspresinya begitu.”

Dari sekian banyak film yang dimainkannya, Tutie menyebut film yang diproduksi tahun 1972, bertajuk Flamboyan sebagai film yang amat berkesan baginya. ”Itu film luar biasa. Baik untuk cerita maupun teknis ya, set-setnya. Untuk ukuran pada tahun itu sangat mahal. Luar biasa!” tutur Tutie. Namun karena masalah yang terjadi antara Sjuman dan produsernya, film itu batal beredar di pasaran. ”Itu filmnya Bung Sjuman sebelum Si Doel Anak Betawi.”

Bermain film agaknya sudah jadi candu buat Tutie. Katanya, seperti ada yang kurang jika lama tak berakting. Bedanya, kini dia tak harus repot-repot lagi untuk casting sana-sini, melainkan memang diminta untuk bermain. ”Soalnya ketika mereka meminta, kayanya serius,” ujar Tutie.

”Saya sudah dalam posisi yang nothing to loose. Aku sudah sampai di tempat seperti ini dengan usia segini. Bukan sok atau bagaimana, tapi terlalu ngoyo kalau aku harus ngelamar-ngelamar (peran). Jadi istilahnya ya nunggu untuk beberapa peran yang seharusnya aku yakin sutradara muda itu punya referensi, punya visi.” lanjut Tutie lagi.

Setelah puluhan tahun menjadi aktris, Tutie mencoba menjadi produser. ”Ini tantangan sekaligus coba-coba,” terang Tutie. Semua faktor campur-aduk muncul di dalamnya.

”Ini benar-benar modal sendiri sama sepupu. Karena pada saat Rudi datang dengan modal script, sudah jadi, yang ditulis oleh Titien. Menurut aku ini tantangan,” terang Tutie.

Dari sekian banyak kendala yang dipikirnya berat ternyata bukan permodalan, melainkan promosi. Sebagai produser, Tutie mengaku puas dengan karya Rudi itu. (bat)

ASEAN sets digital TV standards

HONG KONG - The broadcast regulators of seven South East Asian countries Thursday set regional standards for the transition from analog to digital broadcasting. They agreed a set of tech specifications for digital set-top decoders and to create new content for digital broadcast.

Sixth running of the ASEAN Digital Broadcasting meeting in Singapore, involving Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand and Vietnam, said "alignment of technical specification standards for set-top-boxes will create economies of scale for equipment manufacturers and help lower the prices of set top-boxes."

The 60 delegates also decided to create an ASEAN High Definition Centre which will provide training for HD production and facilitate HD co-productions within the region. They agreed to produce a 10-part ASEAN documentary series focusing on lifestyle, heritage and culture that will act as a regional unifier and a showcase for global auds.

he ADB meeting built on the earlier decision by the ASEAN ministers responsible for information (AMRI) conference in May 2007 that adopted Europe's Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T) as ASEAN's common standard for terrestrial digital broadcasting.

The ADB officials must now prepare detailed policy considerations for analogue switch-off and submit recommendations to the next AMRI meeting in 2009.

Outstanding topics include: exploring interactive TV software costs; MPEG4 licensing issues; establishment of a common Digital TV sound standard; and a study of the high-definition 720p/1080i transmission and production formats.

Ramon Tungka Siap Sutradarai Film

Sosok aktor yang satu ini memang belum lama di dunia hiburan. Ramon Tungka mengawali karir dalam film karya sutradara Hanung Bramantyo, Catatan Akhir Sekolah. Namun lantaran selektif memilih peran, tak banyak film yang dilakoninya. Sejak 2005 dia baru membintangi 5 judul film. Empat judul lainnya adalah Cinta Silver, Ekskul, Pesan dari Surga dan Tali Pocong Perawan. Kini dia siap-siap melangkah sebagai sutradara film.

“Gue ditawari teman sekaligus manajer gue untuk men-direct project film buat home video,” demikian kabar yang diungkapkan Ramon lewat manajernya Ichwan Persada.

Asal-muasalnya, Ichwan memang ditawari investor untuk menggarap paket film itu sebanyak enam judul. Salah satu yang kebagian termasuk Ramon. Sebelum ini Ichwan memang juga acapkali terlibat dalam produksi beberapa judul film.

”Cuma karena persiapannya mepet dan gue juga pengen mengawali dengan baik, maka gue memutuskan untuk mempersiapkan mental maupun pengetahuan gue dulu,” reaksi Ramon atas tawaran itu.

Menurut pengakuan Ramon, tambah Ichwan, setiap kali syuting dia banyak bertanya kepada sutradara atau juru kamera. Saat ini, Ramon juga mulai membaca buku-buku yang berhubungan dengan pembuatan film.

Namun ini hanya soal waktu. Pasalnya, tambah Ichwan, seiring dengan kematangan dan pengalaman di dunia teater setahun belakangan, Ramon siap untuk menyutradarai film perdananya akhir tahun ini. (bat)

Usai Fiksi, Zeke Tak Kehabisan Proyek

Sudah nonton film Fiksi? Jika anda jeli, ada adegan unik muncul ketika sekelompok pengamen melantunkan tembang Profesor Komodo milik kelompok Zeke and The Popo di tengah hiruk-pikuk warung tenda. Kok bisa lagu indie dibawakan tukang ngamen? Tak usah bingung, penata musik film ini yakni Zeke Khaseli ternyata merupakan frontman band tersebut. Iseng-iseng, dimasukkanlah tembang bernada riang itu. Kok bisa begitu?

”Saya membuat scoring (ilustrasi musik) setelah ada gambarnya,” Zeke menerangkan. Sebelumnya, Zeke juga sudah membaca skenario yang ditulis oleh Joko Anwar. ”Dari cerita itu, musiknya lebih banyak untuk menggambarkan bagaimana suasana hati Alisha,” tutur dia.

Saat hati Alisha (diperankan oleh Ladya Cherryl) sedang girang itulah Zeke menyelipkan tembang bandnya dibawakan oleh sekelompok pengamen. ”Wah, riang-riangnya mereka seperti mengingatkan pada Bob Dylan gitu,” komentar alumni Art Institute of Seattle ini.

Atmosfer gembira yang mendera Zeke mau tak mau berpengaruh jua pada album bandnya. ”Album ZATPP yang kedua sepertinya bakal terpengaruh oleh film Fiksi deh. Genrenya alternatif rock, indie rock gitu. Lebih ringan ketimbang sebelum-sebelumnya,” paparnya.

Kelar menuntaskan ilustrasi musik dalam film karya sutradara Mouly Surya, Zeke harus siap-siap untuk gawe berikutnya. Ke depan, setidaknya ada dua proyek lain yang harus dibereskan. Dua-duanya thriller pula, satu untuk film Joko Anwar, yakni Pintu Terlarang dan satu lagi untuk Mo Brothers yang bertajuk Macabre.

Setelah Kala dan Fiksi, kok thriller terus. Mau jadi spesialis thriller? (bat)

Buah Kelana Viva Westi

Viva Westi dilahirkan 21 September 1972 di Manokwari, ketika itu namanya masih propinsi Irian Jaya. Terjun dalam dunia film apalagi sampai menjadi sutradara mungkin tak pernah terpikir di benaknya. Namun, suatu kali ada satu kejadian yang memaksanya untuk mencemplungkan diri dalam dunia nan glamour ini.

Syahdan pada awal 1990-an, ia sedang jalan-jalan untuk nonton bioskop bersama teman kampus IISIP-nya di Taman Ismail Marzuki. Tak dinyana seorang pria mendatanginya dan kemudian berucap,“ Halo, saya Garin Nugroho. Saya mau bikin film dan saya rasa kamu cocok.“ Demikian ungkap Westi mengenang momen batu pijakan awal dia terjun di dunia gambar hidup.

Proses untuk berakting dalam film, yang kemudian diketahui bertajuk Surat untuk Bidadari itu memang tak mudah. Awalnya, tutur Westi, dirinya cenderung untuk menolak namun ketika sudah bilang setuju, eh produksinya malah batal pula. Akhirnya, setelah vakum dua bulan proyek itu jadi terlaksana. Maka berangkatlah tim SET syuting di Sumba selama sebulan. ”Syutingnya seru sekali. Di sana saya pertama ketemu dengan Nurul Arifin, Adi Kurdi, Monica Oemardi, Jajang C Noer. Itu syuting yang luar biasa.”

Rupanya kapasitas akting Westi dilirik pula oleh sutradara sekaliber Teguh Karya. Sebuah FTV yang diputar di stasiun SCTV bertajuk Indonesia Berbisik menjadi unjuk kemampuannya yang berikut. Lewat lakon yang diputar dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka ini Westi beradu akting dengan Alex Komang. Lagi-lagi di SCTV, ia kebagian peran dalam satu lakon arahan Slamet Rahardjo yang bertajuk Suro Buldog.

Jalan hidup Westi benar-benar berubah sepulangnya syuting dari Sumba. Garin menanyakan kenapa tidak mendaftar di kampus Institut Kesenian Jakarta? Kepalang hanya sekadar menjadi anak wayang, berangkatlah ia ke kampus Cikini untuk menimba ilmu penyutradaraan. Ya, jadi sutradara betulan. Sebagai pemanasan, Westi memulai langkahnya dengan mencoba menulis scenario sinetron Malam Pertama, dan Virgin The Series.

Agaknya Garin ditakdirkan punya campur tangan yang kuat dalam karir Westi. Putri dari Amril Datuk ini diajaknya terlibat dalam beberapa proyek berikut. Tahun 2002, Westi diajak berangkat ke pulau kelahirannya Papua untuk menjadi asisten sutradara Aku Ingin Menciummu Sekali Saja. Setelah itu mereka bareng Lianto Luseno dan Toni Trimarsanto menggarap Serambi. Film ini sempat diputar di ajang Un Certain Regard, Festival Film Cannes 2006.

Diam-diam ternyata Westi tak menyangkal kegemarannya terhadap film horor. Bahkan ia berteman baik dengan sutradara horor macam Arie Aziz dan Nayato Fio Nuala. ”Saya suka Nayato, saya sangat ngefans. Saya selalu bilang sama dia Suster N itu Suster Nayato...,”seloroh Westi sambil tertawa. Recycled, sebuah film milik Pang bersaudara adalah film yang disukai Westi.

Tahun 2007 Westi bertandang ke PT Virgo Putra Film. Usai berdiskusi dengan pihak produser, disepakatilah untuk mengeksekusi satu scenario horor miliknya, Suster N (Dendam Suster Ngesot). Westi sempat mengaku senewen lantaran sobat karibnya Arie Aziz menggunakan idiom suster ngesot juga untuk filmnya, namun akhirnya disepakati dengan tajuk Suster Ngesot The Movie. Apapun hasilnya, Westi tetap lega lantaran merasa sudah membuat sesuatu yang berbeda ketimbang arus utama.

”Sampai saat ini saya masih mencari produser yang ingin dibuatkan film horor. Saya mau,” celoteh Westi. Film horor itu adalah produk yang tergolong sulit dibuat. Pasalnya, shot dibikin harus benar-benar tepat saat hantunya lewat, ekspresinya pas dan itu harus melalui tipuan kamera tukasnya lagi. Intinya, membuat penonton untuk takut lebih sulit ketimbang membuat penonton menangis.

Kelana Westi dalam jagat perfilman rupanya berfaedah. Heru Winanto, produser film ketiganya ternyata orang dari Prima Entertainment, di mana dulu ia biasa menyuplai skenario. Ketika mereka bersua lagi, skenario May yang ditulis oleh Dirmawan Hatta ditawarkan kepadanya.

Lagi-lagi, Westi bersyukur karena selalu ditawari film yang berbeda-beda. ”May ini buat karir saya luar biasa, karena ada satu produser yang ngasih bujet dan kita bisa membuat film yang bagus tanpa dibebani. Ini harus banyak yang nonton ya, harus ini, harus itu.” lanjut Westi lagi.

Di matanya, May adalah satu tontonan alternatif yang berbeda karena berani mengambil kerusuhan sebagai latar belakang. Isu-isu sosial macam begini memang sudah menjadi makanannya karena beberapa ftv bertajuk macam Wo Ai Ni Indonesia atau Jangan Panggil Aku Cina pernah lahir di tangannya. Ini memang tentang perbedaan ras.

Awi Suryadi - Nggak Kapok Berkiprah di Film

Tahun 2008 agaknya menjadi momen yang penuh warna bagi Awi Suryadi. Penulis skenario dan sutradara ini merilis film keduanya Claudia/Jasmine di awal tahun dengan hasil yang mengecewakan. Dilanjutkan dengan skenario film ML (Mau Lagi) yang dia tulis, kendati sudah jadi ternyata harus ditunda rilisnya entah sampai kapan. Terakhir, pertengahan tahun dia Awi membesut Sumpah Pocong di Sekolah, sebuah film horor yang boleh jadi tak pernah terpikir untuk membuatnya. Selesai?

Sebenarnya, Awi Suryadi mengawali debutnya di layar lebar dengan menjadi sutradara film Gue Kapok Jatuh Cinta bersama Thomas Nawilis. Film yang beredar bulan Februari 2006 ini skenarionya juga hasil buatannya. Dua tahun berselang, dia baru muncul lagi di blantika film nasional. Lewat film bertajuk Claudia/Jasmine Awi kembali duduk di kursi sutradara sekaligus menjadi penulis naskah.

Perihal interval yang demikian lama Awi, mengaku sedang membaca pasar. ”Kita dulu mikirnya sebagai rumah produksi sekaligus distribusi,” papar pria kelahiran Bandar Lampung ini. 27ant, rumah produksi yang didirikannya sempat memang bermain dalam bisnis distribusi. Lantaran risiko balik modal yang terlalu lama, terpaksa dia banting stir. ”Sekarang seperti rumah produksi yang kecil-kecil aja deh. Kita borongan bikin film, terus kasih deh ke PH besar.” Menarik diri dari hingar-bingar juga membawa dampak positif untuk Awi. ”Saya jadi punya banyak waktu untuk menulis naskah,” celotehnya dengan antusias.

Semasa kecilnya, film bukanlah barang asing bagi pria bernama asli Suryadi Musalim ini. Sang ayah ternyata adalah distributor film untuk wilayah Sumatera Selatan. Puluhan gedung bioskop sempat dimiliki ayahnya ketika masih berjaya. Sembari iseng-iseng, Awi mudapun sempat diajak sang ayah untuk berkecimpung dalam bisnis tersebut.

Belakangan, anak bungsu dari empat bersaudara ini malah melanjutkan pendidikan tingginya ke negeri paman Sam. Di kota Los Angeles, ia sempat lama berdomisili setelah menamatkan pendidikan teknik sipilnya di kampus California Polytechnic University. Namun bekerja di bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, menangani proyek tata kota misalnya, tak cukup membuatnya puas. Bidang menulis ternyata malah dirasa lebih menyenangkan baginya.

Ada sedikit kisah di balik hobi menulis ini. Rupanya sejak duduk di bangku SMP (ketika itu di Singapura) Awi sempat menjadi joki penulis bagi teman-teman di sekolah. ”Banyak pelajar Indonesia malas kalau disuruh menulis,” tandasnya. Walhasil, iapun memperoleh bayaran atas ketrampilannya. Lumayan juga. Acapkali Awi sempat dikira sebagai orang yang pendiam. Tapi jangan salah, diam-diam justru ia sedang mengamati lawan bicara ataupun mereka yang ada di sekitarnya. Keunikan dari karakter itulah yang kelak dituangkannya dalam naskah cerita. ”Saya memang observant...,” ungkapnya saat ditemui di rumah produser Delon Tio, mitra bisnisnya.

Begitulah, dengan bermodalkan kemampuan menulis cerita tiba-tiba penyuka musik jazz dan rock ini seperti menemukan ilham bahwa film merupakan lahan bisnis yang tepat. Maka, saat kembali ke tanah air Awipun mulai meretas jalan di ranah sinema dengan mendirikan rumah produksi 27ant. Di sana ia berkolaborasi dengan Thomas Nawilis untuk memulai debutnya membuat film drama yang kental dengan bumbu humor. Sayangnya, film Gue Kapok Jatuh Cinta kurang disambut pasar. Namun dia tak jera. Filmnya yang berikut Claudia/Jasmine setali tiga uang nasibnya, ikut-ikutan kandas, padahal banyak pihak yang memuji.

Nasib apes Awi di awal tahun 2008 ini berlanjut. Film yang skenarionya dia tulis, ML (Mau Lagi), ternyata masih gantung nasibnya. Tak jelas kapan akan diputar. ”Naskah itu saya buat untuk Thomas, habis dia gatal ingin kembali ke layar lebar setelah terus-terusan (menjadi sutradara) di televisi,” tuturnya ikut prihatin terhadap nasib sahabatnya.

Jatuh bangun berkali-kali tak menyurutkan semangat Awi. Apalagi masih ada pemodal yang memberikan amanah untuk menuntaskan karya baru. Kali ini datang dari Maxima Pictures yang memberinya proyek film horor. ”Kalau yang biasa-biasa, jangan minta saya,” kilahnya saat ditawari. Permintaan itu disetujui. Maka Awipun merasa tertantang untuk menuntaskan proyek Sumpah Pocong di Sekolah itu dengan caranya sendiri. Dibuatkanlah skenario film itu dengan bumbu komedi yang kental tentunya.

Ternyata, naskah itu membuat aktor sekaliber Alex Komang kepincut.”Bahkan, Oom Alex mau ikut main setelah baca draft 1,” cerita Awi. Yang lebih membuatnya tercengang adalah totalitas yang ditunjukkan aktor peraih Piala Citra itu dalam filmnya, mulai dari rela berhujan-hujan saat syuting dinihari hingga bergelantungan di lantai empat. Tak ayal, film horor Awi tak sekadar menyuguhkan rasa takut kepada penonton tetapi juga bagaimana seorang aktor senior berakting total tanpa peran pengganti.

Agaknya, tahun ini Awi masih akan menuntaskan satu proyek lagi. Kali ini, film komedi dari Rapi Films sudah siap untuk digarap. ”Sebuah komedi tentang persahabatan sih, tapi belum syuting kok,” terang Awi lagi dengan nada optimis.

Asal jangan kerja instan aja, Wi... (bat)

Rako Prijanto, Sutradara dengan Selera Puitis

Bosan aku dengan penat/Dan enyah saja kau pekat/Seperti berjelaga jika ku sendiri

Ada yang ingat dengan baris kalimat barusan? Penggemar film Ada Apa dengan Cinta? niscaya tak akan pernah lupa. Lebih-lebih mereka yang mengaku fansnya Dian Sastrowardoyo (yang melantunkannya lewat petikan gitar dalam filmnya). Namun adakah yang tahu siapa penulis sejumput kata tersebut? Kalaupun ada mungkin tak banyak. Dia adalah Rako Prijanto.

Rako, yang kini dikenal sebagai sutradara film di tanah air, mengaku tak pernah tahu ilham apa yang membuatnya menemukan barisan kalimat itu hingga menjadi elok di telinga. ”Pokoknya Mbak Mira nyuruh bikin puisi, ya gua bikin,” tukasnya datar. Di film itu, Rako memang kebagian tugas sebagai tim pengembangan skenario bareng Prima Rusdi, Mira Lesmana dan Riri Riza. Sebagai produser, adalah tugas Mira Lesmana untuk menjadi mandor atas mereka yang terlibat dalam filmnya. Pastinya Rako paham akan hal itu.

Akhirnya film drama itu meledak dan melambungkan pasangan duet Dian Sastrowardoyo-Nicholas Saputra. Bahkan menjadi film nasional pertama yang ditonton lebih dari satu juta orang di bioskop tanah air. Bagi Rako, film ini hanya sebuah proses belajarnya sebagai insan film. Pasalnya, dalam kapasitas sebagai penulis skenario ini menjadi kali ketiga setelah Bintang Jatuh dan Tragedy, dua film yang dibesut Rudi Soedjarwo. Kebetulan, Rako juga menjabat sebagai asisten sutradara di keduanya. Bahkan di Tragedy, diapun didapuk jadi salah satu aktor utama.

Sejenak Rako sempat mengenang film yang menjadi debutnya. Saat itu mereka nongkrong bareng Rudi Soedjarwo dan teman-teman lain macam Indra Birowo, Gary Iskak, hingga Sapto Sutardjo, tukang casting sejuta umat. Rudi yang sedang putus asa karena idenya ditolak stasiun televisi lokal mengajak untuk membuat film indie. ”Syutingnya pakai format video digital, jadi biayanya rendah,” papar Rako lagi. Kalangan muda yang sedang kangen dengan hadirnya film nasional menyambut antusias film Bintang Jatuh.

Sukses itu membuat Rako tersadar bahwa dia bisa mencari uang dari film. ”Pokoknya mati hidup dari film deh,” tegasnya. Inilah semacam titik balik yang penting bagi masa depannya kelak. Selain soal sandaran hidup, Bintang Jatuh juga membawa hikmah lain. Produser Miles Film, Mira Lesmana melirik Rako dan tim untuk menggarap film yang kemudian fenomenal itu.

Rako cukup lihai memanfaatkan kesempatan bisa dekat dengan para sineas yang lebih senior. Bersama rumah produksi Miles, Rako sempat menjadi asisten sutradara dari Riri Riza dalam Eliana, Eliana. Kemudian posisi itu masih berlanjut bersama Sekar Ayu Asmara dalam Biola tak Berdawai dan Riri dalam Gie. ”Gue mundur dari film Gie karena sakit,” tutur Rako lagi.

Setelah ilmunya dirasa cukup, barulah dia mendapat kepercayaan untuk duduk di kursi sutradara. Film Ungu Violet, yang dibayai Sinemart memperlihatkan hasrat Rako untuk menghadirkan produk artistik. Judulnya saja sudah melambangkan hal itu, ungu sebagai paduan warna merah dan biru. Warna inilah yang dipakai sebagai simbol protagonisnya. Merah adalah warna untuk Kalin (Dian Sastrowardoyo) dan biru untuk Lando (Rizky Hanggono).

Perihal seleranya yang kaya dengan elemen artistik, Rako mengaku penyebabnya lantaran keranjingan nonton. Karya-karya macam Godfather milik Francis Ford Coppola atau Crouching Tiger Hidden Dragon dari Ang Lee menjadi referensi yang selalu membekas dalam benaknya. ”Godfather itu film drama but not a simple movie,” paparnya.

Selera artistik Rako kemudian berlanjut dalam film-film berikutnya. Memang sih, tidak sekental permainan simbol warna a la Ungu Violet. Namun dari preferensi pemilihan cerita setidaknya menyiratkan sesuatu yang berbeda. Dalam D’Biji’s dan Merah Itu Cinta misalnya, dia mencoba bercerita tentang wacana queer, yang satu dengan aroma komedi dan satu lagi dengan aroma tragedi. Tak segan-segan pula dia menyebutkan film macam apa kelak yang menjadi obsesinya. ”Satu, saya ingin membuat film drama tentang tari. Mau salsa, tango, ballroom entahlah. Terus yang kedua, saya ingin membuat film horor,” tutur Rako.

Menyandarkan hidup sebagai pekerja kreatif memang pilihan tepat bagi lulusan Ekonomi Perbankan Stekpi ini. Talentanya tak hanya sekadar menulis, ia juga punya kemampuan di musik. Original soundtrack film Tragedy sempat digarapnya di tahun 2000. Di sana dia menata musik bersama Upi De Broer dengan semangat 45. Sampulnya kasetnyapun apa adanya berupa sehelai kertas fotokopian. Beberapa tembang bergenre pop dan dance sempat dituntaskannya. Dalam Eliana, Eliana, Rako juga menulis lirik tembang Cantik Berbisa, sementara komposisi musiknya dibuat oleh Djadug Ferianto. Kiprah musiknya berlanjut di film Arisan, dimana Rako sempat melantunkan tembang lawas milik Hedy Yunus, Prahara Cinta.

Terakhir, Rako baru saja menuntaskan syuting Oh My God!, drama komedi yang dibiayai oleh Oreima Films. Setelah itu, akan menyusul satu proyek lagi dari investor Malaysia. Film memang telah menjadi pilihan karir bagi Rako. (bat)

Lukman Sardi dalam 2 generasi

Tidak banyak aktor maupun aktris Indonesia yang masih eksis dalam dua generasi perfilman Indonesia. Generasi yang dimaksud adalah generasi dimana perfilman Indonesia masih menggunakan proses dubbing dalam proses pengisian suaranya, dan generasi yang satu lagi adalah generasi yang lebih maju, dimana proses pengisian suaranya telah menggunakan tekhnologi digital, biasa disebut direct sound. Lalu siapa aktor atau aktris yang pernah merasakan dua fase tersebut? Lukman Sardi adalah salah satunya.

Karir perfilmannya sendiri terbagi dalam dua fase di kehidupannya, pertama adalah ketika ia masih berusia 5 tahun. Putra dari maestro biola Indonesia Idris Sardi ini, mendapat tawaran dari sutradara Wim Umboh untuk bermain dalam salah satu filmnya. Dengan persetujuan sang ayah, dengan mantap Lukman Kecil memulai karirnya sebagai aktor cilik.

Film pertama Lukman berjudul Pengemis dan Tukang Becak, produksi PT Jaya Bersaudara Film. Dalam film yang diproduksi tahun 1978 ini, Lukman bemain bersama Christine Hakim, Alan Suryaningrat, Ully Artha, Dicky Zulkarnaen, Chris Steven, Henry Susanto, serta sang kakak Ajeng Triani Sardi. Hingga menjelang lulus SMP, setidaknya, Lukman yang lahir di Jakarta pada 14 Juli 1971 ini telah membintangi delapan judul film, yairu Kembang-Kembang Plastik, Pengemis dan Tukang Becak, Anak-anak Tak Beribu, Gema Hati Bernyanyi, Laki-Laki Dalam Pelukan, Bermain Drama, Beningnya Hati Seorang Gadis, serta Cubit-Cubitan.

Beranjak remaja, kehidupan Lukman jauh dari dunia film, dan menjadi seorang aktor bukanlah menjadi tujuan hidupnya ketika itu. Disinilah fase kedua Lukman berawal, sebuah fase dimana Lukman yang saat ini adalah seorang aktor kawakan Indonesia, pernah menjalani sebuah fase jauh dari dunia akting. Ketika SMA, Lukman pernah berfikir untuk menjadi seorang tentara. Akan tetapi, dengan basic pelajaran SMA yang berbeda, pada akhirnya membuat ia mengurungkan niatnya itu. Akhirnya Lukman melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah dengan mengambil Fakultas Hukum di Universitas Trisakti Jakarta.

Mendapatkan gelar Sarjana Hukum, tidak serta merta membuat Lukman tertarik bekerja di bidang hukum, karena ia melihat praktek hukum di Indonesia masih kacau balau. Hingga ia beralih profesi sebagai seorang sales asuransi, dan juga mendirikan serta mengelola sebuah playgroup.

Namun sebuah tawaran untuk bermain sinetron membuat ia berfikir untuk kembali ke dunia yang pernah membesarkan namanya ketika kecil. Adalah sinetron berjudul Cinta Yang Kumau serta sebuah sinetron lepas berjudul Kawin Lari. Dalam proses pengerjaan sinetron itu, Lukman merasakan kenikmatannya dalam berakting. Dan selepas dari sinetron tersebut, Lukman mendapatkan tawaran untuk casting dalam sebuah film yang akhirnya membawa namanya kembali ke dunia layar lebar, yaitu Gie yang diperankannya bersama Nicholas Saputra.

Disinilah fase kehidupan seorang aktor bagi Lukman Sardi ia dapatkan kembali. Film-film besar seperti Berbagi Suami, 9 Naga, Pesan Dari Surga, Nagabonar Jadi 2 serta Quickie Express adalah judul-judul film yang ia bintangi. Dan sebuah film terbarunya berjudul In The Name Of Love yang akan segera tayang, menyanding namanya kembali bersama aktris besar Indonesia, Christine Hakim.

Deddy Mizwar, Bintang Lintas Generasi

Tidak banyak aktor maupun aktris Indonesia yang masih eksis dalam dua generasi perfilman Indonesia. Generasi yang dimaksud adalah generasi dimana perfilman Indonesia masih menggunakan proses dubbing dalam proses pengisian suaranya, dan generasi yang satu lagi adalah generasi yang lebih maju, dimana proses pengisian suaranya telah menggunakan tekhnologi digital, biasa disebut direct sound. Lalu siapa aktor atau aktris yang pernah merasakan dua fase tersebut? Lukman Sardi adalah salah satunya.

Karir perfilmannya sendiri terbagi dalam dua fase di kehidupannya, pertama adalah ketika ia masih berusia 5 tahun. Putra dari maestro biola Indonesia Idris Sardi ini, mendapat tawaran dari sutradara Wim Umboh untuk bermain dalam salah satu filmnya. Dengan persetujuan sang ayah, dengan mantap Lukman Kecil memulai karirnya sebagai aktor cilik.

Film pertama Lukman berjudul Pengemis dan Tukang Becak, produksi PT Jaya Bersaudara Film. Dalam film yang diproduksi tahun 1978 ini, Lukman bemain bersama Christine Hakim, Alan Suryaningrat, Ully Artha, Dicky Zulkarnaen, Chris Steven, Henry Susanto, serta sang kakak Ajeng Triani Sardi. Hingga menjelang lulus SMP, setidaknya, Lukman yang lahir di Jakarta pada 14 Juli 1971 ini telah membintangi delapan judul film, yairu Kembang-Kembang Plastik, Pengemis dan Tukang Becak, Anak-anak Tak Beribu, Gema Hati Bernyanyi, Laki-Laki Dalam Pelukan, Bermain Drama, Beningnya Hati Seorang Gadis, serta Cubit-Cubitan.

Beranjak remaja, kehidupan Lukman jauh dari dunia film, dan menjadi seorang aktor bukanlah menjadi tujuan hidupnya ketika itu. Disinilah fase kedua Lukman berawal, sebuah fase dimana Lukman yang saat ini adalah seorang aktor kawakan Indonesia, pernah menjalani sebuah fase jauh dari dunia akting. Ketika SMA, Lukman pernah berfikir untuk menjadi seorang tentara. Akan tetapi, dengan basic pelajaran SMA yang berbeda, pada akhirnya membuat ia mengurungkan niatnya itu. Akhirnya Lukman melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah dengan mengambil Fakultas Hukum di Universitas Trisakti Jakarta.

Mendapatkan gelar Sarjana Hukum, tidak serta merta membuat Lukman tertarik bekerja di bidang hukum, karena ia melihat praktek hukum di Indonesia masih kacau balau. Hingga ia beralih profesi sebagai seorang sales asuransi, dan juga mendirikan serta mengelola sebuah playgroup.

Namun sebuah tawaran untuk bermain sinetron membuat ia berfikir untuk kembali ke dunia yang pernah membesarkan namanya ketika kecil. Adalah sinetron berjudul Cinta Yang Kumau serta sebuah sinetron lepas berjudul Kawin Lari. Dalam proses pengerjaan sinetron itu, Lukman merasakan kenikmatannya dalam berakting. Dan selepas dari sinetron tersebut, Lukman mendapatkan tawaran untuk casting dalam sebuah film yang akhirnya membawa namanya kembali ke dunia layar lebar, yaitu Gie yang diperankannya bersama Nicholas Saputra.

Disinilah fase kehidupan seorang aktor bagi Lukman Sardi ia dapatkan kembali. Film-film besar seperti Berbagi Suami, 9 Naga, Pesan Dari Surga, Nagabonar Jadi 2 serta Quickie Express adalah judul-judul film yang ia bintangi. Dan sebuah film terbarunya berjudul In The Name Of Love yang akan segera tayang, menyanding namanya kembali bersama aktris besar Indonesia, Christine Hakim.

Wiwid

Kota kembang Bandung banyak melahirkan orang kesohor di negeri ini. Salah satunya adalah Meriam Bellina. Bintang yang beken di era 80-an ini pada zamannya terbilang berani memainkan adegan panas sehingga dijuluki Bom Sex Indonesia. Karena kepiawaiannya berakting ia juga dijuluki Magma Perfilman Indonesia. Dua dekade kemudian, dari kota yang sama lahir titisan Meriam. Namanya Wiwid Gunawan. Mampukah dia menjadi magma baru?

Film yang menjadi debut mojang satu ini, Kawin Kontrak setali tiga uang dengan film yang dimainkan pendahulunya itu. Aduh, cukup membuat deg-degan kaum Adam yang memandangnya. Dengan cueknya Wiwid melakoni adegan demi adegan panas menyengat.

Apa reaksi keluarganya? ”Oh ngga apa-apa. Kalau keluarga sih seru-seru aja gitu kan yah,” komentarnya dengan logat Sunda yang khas.

”Mereka malah senang, melihat keseharian Wiwid yang nggak seperti itu. Kan Kawin Kontrak sudah nonton kan? Berapa kali nontonnya?” sambungnya balik menantang. Malah host acara Paranoia di layar kaca ini menyarankan untuk menonton berkali-kali dan membeli DVD-nya sambil tertawa tergelak.

Sebelum memainkan peran teh Euis, Wiwid sudah berunding dengan keluarganya. Sejak awal dia sudah dikabari bahwa sosok janda genitberanak satu dan mengerti soal laki-laki—yang dimainkannya mengharuskan dia untuk tidak menggunakan penutup dada. Tetapi lantaran tuntutan peran, semua itu dijalaninya dengan sepenuh hati. ”Keseharian sih biasa aja. Cuma karena tuntutan peran kamu jadi gadis seksi, oke. Sehari-hari sih biasa pakai t-shirt, jeans,” tutur anak bungsu ini kalem.

Rupanya keluarga Wiwid punya pandangan moderat. Ketika semua porsi peran itu dia ceritakan reaksi mereka malah balik menantang.”Yah kamunya mau nggak,” tiru Wiwid. ”Ya pengen sih. Ini kan dunia film gitu kan, dapat kesempatan, ya pengen....” Eh, dasar rezeki. Orang rumah malah menyuruhnya untuk terjun total. ”Harus profesional. Jangan setengah-setengah kamu,” demikian Wiwid menyitir lagi ucapan mereka.

Didukung penuh keluarga membulatkan tekad Wiwid untuk terjun bebas di layar lebar. Dan ketika film itu usai digarap dan ditonton keluarga reaksi mereka pun seperti yang diharapkan. ”Wah, gila yah. Kok bisa banget kamu di situ meranin janda genit yang gatel. Keseharian kan ngga gitu, dari gestur, dari cara ngomong. Kok bisa sih,” demikian Wiwid menirukan pujian yang bertubi-tubi itu.

Awal karir Wiwid sendiri bermula dari ajang pemilihan model lokal tahun 2000 dan menang. Kontrak bersama Fuji Film segera ditekennya. Karena masih harus merampungkan studi di Bandung, aktivitas Wiwid di hiburan tak maksimal benar.”Sekali-sekali kalau ada casting di Jakarta, oke aku jalani,” papar cewek berzodiac Gemini ini.

Barulah setelah menamatkan kuliah S-1, semuanya terasa lega buat Wiwid. Maksud hati ingin mengaplikasikan ilmu yang didapat di bangku kuliah, apa daya malah kecemplung lagi di hiburan. ”Ternyata setelah dijalani, oke juga. Ya udah deh.”

Yang menarik, ternyata terjunnya Wiwid di film perdananya terjadi tanpa sengaja. Saat itu kebetulan dia ada casting untuk sinetron di salah satu PH. ”Kan kalau casting director itu suka tukar-tukaran pemain, nah MVP itu sedang mencari pemain untuk peran teh Euis ini.” Dari PH sebelumnya, MVP segera disodori nomor kontak Wiwid. Selanjutnya, bisa ditebak, peran itu segera direngkuhnya.

Untuk film berikut, jalan yang dilalui masih tak mudah juga. Pasalnya, Wiwid tetap harus menjalani proses audisi pemain. ”Meskipun film ini MVP punya, namun yang mengerjakan Liquid (PH milik Jose Poernomo, red.),” terang Wiwid. Secara fisik, pengambilan gambar dalam film ini terasa cukup berat karena harus bertualang di tengah laut. ”Bukan nyemplung lagi, tigujubar eta mah (jatuh ke dalam laut).”

Saking beratnya syuting itu tak urung, Euis eh Wiwid, sempat sakit berat dan memaksanya masuk rumah sakit. ”Syutingnya break dulu untuk nungguin aku sembuh dari sakit. Ngga enak juga sih,” ujar Wiwid sambil tertawa. Tapi syukurlah film itu bisa selesai dan siap diputar di musim libur. Jadwal rilisnya bahkan lebih cepat jadinya.

Sekali lagi, penonton film Indonesia bakal mendapatkan pemandangan indah kemolekan tubuh si teteh. Tapi apakah Wiwid bakal menjadi magma baru perfilman nasional? Menarik untuk ditunggu, tentunya. (bat)

Arifin Putra - Ingin Serious Film

Sudah nonton film Lost in Love? Kalau sudah, Anda tentu kenal dengan sosok yang satu ini. Arifin Putra namanya. Ia lahir di Jakarta pada 1 Mei 1987, dari seorang ayah Jerman dan ibu pribumi. Masa kecil pria yang satu ini terbilang unik, karena ia besar dalam keluarga yang menggunakan tiga bahasa berbeda, trilingual ia menyebutnya. “Kalo sama bokap pasti ngomong pake bahasa Jerman, sama nyokap ngomong Indonesia. Nah pas remaja aku belajar bahasa Inggris, jadi trilingual deh,” ucap Arifin.

Kehidupan masa kecil hingga remaja pria Taurus ini merupakan potret perjalanan yang menyenangkan, terutama ketika ia merayakan ulang tahun, selalu ada tradisi yang ia jalankan bersama teman-temanya. “Dulu kalo gue ulang tahun, gue sama temen-temen gue pasti main rugby di taman deket rumah, dan pernah sekali waktu itu kecelakaan sampe akhirnya telapak kaki gue robek dan harus dijahit,” ungkapnya.

Dengan tiga jahitan di telapak kaki, penyuka buku Da Vinci Code ini justru merasa bangga, karena setelah itu ia menjadi perhatian teman-temanya. “Ngerasa keren aja, gue bilang, ‘Nggak apa-apa koq, cuma dijahit doang,” kenangnya. Namun bukan kali itu saja ia merasa bangga atas kecelakaan yang menimpa dirinya.

Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia kembali merasakan nikmatnya hasil jahitan, dan kali ini di bagian kepala akibat dorong-dorongan dengan teman-temannya. Dengan kejadian tersebut ia berhasil mendapatkan perhatian dari wanita yang sedang diincarnya.

Begitulah sosok Arifin, seorang yang pemalu, yang memanfaatkan kecelakaan dirinya untuk menarik perhatian seorang wanita. Berbeda dengan perjalanan dirinya masuk ke dunia hiburan, justru orang lain yang tertarik pada dirinya.

Bermula ketika Arifin diminta oleh sang ibu untuk mengantarkan kakaknya yang akan syuting menjadi figuran iklan makanan cepat saji. Karena tidak mengenal siapa-siapa, setibanya di sana Arifin langsung mencari tempat untuk menyendiri dan membaca buku. Tiba-tiba seseorang datang kepadanya. Hmmm bawa baju ganti nggak? Mau nggak ikut jadi figuran?,” ucap Arifin mengulang pertanyaan orang tersebut. Sontak Arifin tidak mengucap sepatah kata apapun. Namun perasaan malu tersebut berhasil dikalahkan perasaan bosan yang menerpanya saat itu. Dan terlibatlah Arifin di iklan tersebut bersama sang kakak sebagai figuran.

Selesai syuting berjam-jam, uang pun di tangan, dan ia menjadi bangga atas apa yang ia lakukan, meski diakuinya hanya sekedar iseng. Namun keisengan Arifin itu, justru membawanya kepada iklan selanjutnya, sebuah iklan makanan cepat saji juga. “Setelah itu ditawarin iklan lagi, mau lagi, tapi harganya turun jadinya sebel,” cerita Arifin.

Setelah sebelumnya sempat menjadi finalis Cover Boy sebuah majalah remaja, Arifin akhirnya mendapat kesempatan menjadi pemeran utama dalam sebuah iklan. “Gue seneng banget! Tapi gue nervous waktu itu, sampe sangkin groginya, satu adegan pernah sampe 70 kali take,” papar Arifin. Gue bukannya ngga bisa, tapi emang gue grogi,” tambahnya.

Usai menjadi bintang iklan pembersih wajah itu, Arifin sempat cuti dari kegiatan di depan kemera. Tapi dalam pembuatan iklan itu pula ia bertemu dengan managernya sekarang, Jo. “Waktu itu sih cuma kenal gitu aja, sampe akhirnya gue ketemu dia lagi di kesempatan kedua gue jadi pengisi acara di salah satu acara pemilihan model,” ceritanya.

Berkat tangan dingin managernya itu, Arifin mendapatkan peran di sebuah sinetron berjudul Srikandi, walaupun hanya mendapatkan peran kecil. Namun meski mendapat peran yang kecil, tidak mengurangi grogi yang dihadapi Arifin untuk berhadapan dengan kamera. “Waktu itu gue berdoa dan memohon supaya hari itu ngga jadi syuting, dan ternyata doa gue dikabulin,” cerita Arifin yang tidak jadi syuting karena kameranya rusak. Keesokannya ia harus kembali menghadapi groginya itu.

Pengalaman pertama kali berakting pun diungkapkannya dengan istilah kacau. Ia tidak mengerti apa yang namanya itu blocking, master, cover, medium dan sebagainya. Bahkan ia pun kesulitan untuk menghafalkan dialog. “Pokoknya sutradaranya agak sebel aja sama gue,” tutur Arifin.

Setelah dua kali membuat sutradara sebal, Arifin mulai serius belajar tentang akting. Apalagi setelah beberapa waktu demikian, ia mendapat peran untuk sebuah sinetron yang cukup melambungkan namanya, yaitu Kisah Kasih di Sekolah. Dalam sinetron produksi Sinemart ini, ia disandingkan dengan Marshanda.

“Itu pertama kalinya gue dikasih skenario untuk dibawa pulang dan dipelajarin. Gue dijelasin tentang karakter di situ seperti apa dan latar belakangnya seperti apa,” cerita Arifin. Ia dibuat sadar bahwa memang harus disiplin untuk menjalankan profesi ini. Untuk itu, ia kemudian mengikuti sekolah akting selama satu setengah tahun, dan selalu berusaha untuk lebih serius.

Perjalanan Arifin pun berlanjut ke layar lebar. Berawal dari pertemuannya dengan seorang sutradara muda, Rahmania Arunnita, di sebuah mall di Jakarta yang ketika itu sedang mencari pemain untuk bermain dalam film lanjutan Eiffel I’m In Love berjudul Lost In Love.

Tidak hanya berupa sebuah pertemuan belaka, Arifin pun diminta casting di tempat dan langsung membaca skenario. “Aku kan disitu berperan sebagai mahasiswa Thailand yang kuliah di Perancis, lucunya waktu itu aku casting di restoran Thailand,” tukas Arifin.

Hasilnya, ia pun didapuk untuk berperan sebagai Alex meski saat itu Arifin juga tengah terlibat dengan sebuah produksi sinetron. “Aku nyocokin jadwal, akhirnya bisa lah dicari solusinya, ya udah berangkat ke Paris deh,” jelas Arifin.

Sebenarnya tawaran yang datang kepada Arifin untuk bermain layar lebar tidak hanya datang saat itu, sebelumnya juga banyak yang menawarkan kepadanya. Namun karena jadwal dan cerita yang tidak cocok, membuat ia tidak menerima tawaran-tawaran tersebut. “Tawaran ada, tapi liat jadwal dulu, ceritanya, karakternya, sutradranya. Kalo kata orang bibit bebet dan bobotnya lah,” jelas Arifin.

Ke depannya, Arifin bertekad untuk terus berkiprah di dunia hiburan, namun sebagai orang yang bekerja di belakang layar. “Saya banyak belajar dari Rahmania. masih muda namun bisa melakukan banyak hal, penulis, sutradara, dan produser,” aku Arifin. (ajo)

Nicky Tirty, Dari Iklan ke Layar Lebar

Dunia hiburan memang sudah dekat dengan kehidupan Nicky semenjak ia masih kecil. Pasalnya sang kakak, Nia Lavenia adalah seorang penyanyi dan aktris yang dikenal di era 90-an. Kehidupan public figure sang kakak ternyata menarik minat anak kelima dari delapan bersaudara ini untuk terjun ke dunia hiburan. Ia telah melakoninya sejak berusia delapan tahun. “Saya sering nganterin dia syuting, bawain barangnya dia, balesin surat penggemarnya. Pokoknya udah kaya asistennya dia deh,” ujar Nicky.

Tidak hanya itu, Nicky kecil juga melihat bagaimana sang kakak kerap bisa memberikan hadiah kepada anggota keluarga lainnya bila ada yang berulang tahun. “Dia itu bisa beliin adik-adiknya hadiah kalo adiknya ulang tahun, bisa ngebahagiain keluarga, dan saya kepingin bisa seperti itu,” cerita Nicky.

Karena itulah, ketika ada kesempatan untuk casting, Nicky langsung menyambarnya. Padahal orang yang menawarin casting tersebut, baru ia kenal.Ketemu biasa aja di mal pas saya lagi jalan-jalan, tiba-tiba dia dateng nawarin untuk syuting iklan,” ucap pria bernama lengkap Nicky Tirta Djaja ini. Kala itu Nicky masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Awalnya Nicky berpikir ia bakal mendapat peran yang lumayan. Ternyata, ia hanya satu dari seratusan figuran dalam iklan tersebut. “Saya pikir syutingnya tuh yang gimana, eh ngga taunya saya cuma tepuk tangan aja dari jauh barengan sama seratusan orang itu. Pas keliatan di TV juga cuma keliatan seujung jari aja,” kenang Nicky.

Meski tidak sesuai dengan harapan Nicky seutuhnya, pria yang mulai merambah ke dunia tarik suara ini setidaknya bisa merasakan bagaimana memperoleh uang sendiri dari hasil jerih payahnya.

Setelah mendapat kesempatan pertamanya, Nicky terus mencoba untuk mengikuti berbagai casting. Setelah enam bulan casting ke sana-sini, akhirnya ia mendapatkan peran utamanya dalam sebuah iklan.

Namun perjuangan Nicky belum selesai. Meski ia kerap membintangi berbagai judul iklan, ternyata ia tidak mendapat restu dari orang tua. Menurut mereka, tidak elok bila pria masuk dunia hiburan. Ada perbedaan gender yang dia rasakan saat itu. “Sebenarnya sama keluarga waktu itu nggak boleh, dimarahin. Mereka nggak suka kalo cowok ada di dunia entertaint, tapi kalo cewe malah di-support,” cerita pria yang hobi memasak ini.

Terdapat pertentangan yang cukup kuat pada diri Nicky saat itu. Di satu sisi ia sedang menikmati buah penantiannya untuk bisa masuk ke dunia hiburan, di sisi lain, ia harus mengakomodir orang tua yang membesarkan dirinya.

Sebenarnya, orang tua Nicky keberatan lebih karena khawatir ia akan hidup bebas tak terkendali. Mereka takut saya masuk ke dunia yang aneh-aneh. Kata mereka, kalo anak cewek kan biasanya emang mau dianter-anterin, sedangkan kalo cowok kan emang jarang yang mau dianter-anterin orang tuanya,” cerita Nicky.

Tapi tekad bulat Nicky di atas segalanya. Diam-diam dia tetap mengikut casting iklan, walaupun ia harus selalu siap sedia diomelin kedua orang tuanya ketika melihat iklan terbarunya nongol di televisi.

Karir Nicky kian moncer ketika ia terpilih sebagai Top Guess Aneka pada tahun 2003. Padahal saat itu ia tercatat sebagai peserta paling tua dan paling pendek tinggi badannya.

Ada kejutan manis ketika pengumuman kemenangan Nicky saat itu. Tanpa dia duga sama sekali, ternyatak kedua orang tuanya, yang telah menetap di Australia, secara khusus datang ke acara tersebut. “Pas saya dinyatain menang sebagai juara satu, ternyata keluarga saya hadir semua. Mereka datang dari Australia khusus untuk melihat saya dan mereka teriak-teriak pas saya menang,” kenang Nicky.

Dengan bekal sebagai pemenang Top Guess Aneka, tawaran iklan dan sinetron pun berdatangan. Sinetron pertamanya adalah Bidadari. Lagi-lagi, ia menjadi orang paling tua ketika casting. Maklum, sinetraon ini bercerita tentang anak SMA, sementara Nicky telah berusia 20 tahun kala itu. “Jadilah gue orang yang paling tua lagi disana. Parahnya gue disuruh cukur bulu kaki,” tutur Nicky yang mengaku enggan mencukur bulu kakinya karena menganggap banyak anak SMP diluar sana yang bulunya banyak.

Pilihan untuk mencukur bulu kaki ini ternyata tidak sia-sia. Sinetron Bidadari berhasil mendapat rating tinggi. Namanya pun kian dikenal banyak orang. “Walau baru main satu episode udah lumayan banyak yang kenal saya. Wah udah terkenal nih gue.

Berangkat dari kesuksesannya di sinetron tersebut, tawaran untuk bermain di sinetron dan FTV lainnya mulai berdatangan. Nicky tercatat terlibat dalam Joey dan Jessy, Kala Cinta Menggoda, Pacar Khayalan, Dendam Asmara, Senandung Masa Puber, dan Satu Cincin Dua Cinta.

Sukses yan telah direguknya di dunia hiburan, ternyata tidak serta-merta melunakkan hati kedua orang tuanya. “Mereka memang nggak sepenuhnya ngebolehin gitu aja. Dikasih wejangan-wejangan dulu lah. Buat mereka, ini adalah dunia yang bisa merusak fisik atau mental, sehingga mereka minta untuk saya bisa menjaga diri,” tutur Nicky panjang lebar.

Tapi akhirnya, semakin Nicky dewasa, orang tuanya juga mulai memberi kebebasan pada Nicky untuk memilih pilihannya sendiri. “Buat saya pribadi, karena saya menghargai kebebasan yang udah dikasih, saya juga ngga mau ngecewain. Saya juga ngga mau ngerusak,” tambah Nicky.

Impian Nicky untuk terjun ke layar lebar pun mulai terkuak. Sebuah film berjudul Pulau Hantu 2 menjadi film pertamanya.

Tekad Nicky untuk berkarir di dunia akting kian bulat. Tapi ia tidak ingin sekadar menjadi aktor. Suatu hari kelak, pria yang hobi olah raga, ini ingin kerja di belakang layar dan ia ingin segera memulainya. Nicky sekarang sedang menyortir sekolah-sekolah broadcasting di Australia yang pantas baginya. Dan untuk yang terakhir ini, ia mendapat dukungan penuh dari orang tuanya. (ajo)

Jian Batar, Ditinggal Rasanya Sayang

Bermain film ternyata bisa menjadi alat terapi. Pengalaman ini diungkapkan oleh aktris muda Jian Batari. Maklum dara cantik ini ketika kecil mengaku sangat pemalu karena ia harus berpindah-pindah domisili. Jian pun tumbuh tanpa banyak waktu untuk bercengkrama dengan teman sebaya.Alasannya, malu dan terkadang juga takut menghadapi orang baru.

Tapi kok sekarang bisa jadi pemain film? Ternyata agak panjang juga ceritanya. Semua berawal dari lomba model. Sang ibu kerap membawanya ke plaza di Medan untuk ikut lomba model ketika masih remaja. ”Biar dia berani menghadapi orang banyak,” tutur sang ibu saat ditemui usai pemutaran film Mengaku Rasul di Planet Hollywood.

Bekal keberanian itu pun perlahan tumbuh. Apalagi ketika Jian masuk sebagai finalis model majalah Kawanku di tahun 2005. Seorang sutradara sinetron, Key Mangunsong, kemudian menyarankan dia untuk sekolah akting. ”Saya masuk Sakti Actor Studio,” demikian Jian memulai ceritanya. Di sanalah cewek alumni SMUN 30, Jakarta ini menerima dasar teori peran.

Tak lama belajar, satu per satu tawaranpun datang. Mulai dari iklan produk hingga sinetron dan FTV, salah satunya Anakku Bukan Anakku. Setelah itu, ada panggilan dari untuk bermain film layar lebar perdananya, KM 14. Agaknya film ini bukan debut yang berkesan buat Jian lantaran porsinya peran pembantu.

Di film kedua, Legenda Sundel Bolong, yang membuatnya sangat antusias. ”Senang banget! Ini sebuah kesempatan emas yang nggak setiap pemain bisa dapat dengan mudah, main film dengan sutradara Hanung,” begitu komentarnya. Kendati gugup, arahan sutradara pemenang Piala Citra 2005 ini sangat membuatnya nyaman. ”Mas Hanung tuh nggak yang keras dan galak.”

Legenda Sundel Bolong memang tak sekadar film horor. Selain legenda urban yang sudah mengakar di masyarakat, film ini mencoba bercerita tentang ketimpangan sosial. Jian termasuk beruntung bisa mendapat kesempatan untuk peran utama di sana. Dia harus memainkan dua karakter yang berbeda, sebagai Imah sang penari ronggeng dan sebagai sang hantu sundel bolong. ”Di saat aku jadi Imah, aku tuh harus yang menjadi wanita yang menggoda dan menggairahkan, ” celoteh Imah, eh Jian suatu kali.

Sebaliknya, saat menjadi sundel bolong Jian harus berakting memainkan wajah seram. Secara fisik, kulitnya harus dibuat gelap lantaran kulitnya yang terlalu putih. Tentu saja kondisi ini sungguh membuatnya lelah. Apalagi selama proses syuting, dia terus-menerus mengenakan busana tradisional, kebaya Sunda. Untunglah pihak sekolah memberikan dispensasi saat pembuatan film ini. Izin absen sekolah dberikan selama dua minggu. Hmmm, ini pasti karena faktor sutradara.

Faktor lawan main, juga menjadi semacam pelajaran akting buat Jian. Maklumlah, sebagai Imah dia beradu akting dengan aktor kelas Piala Citra, Tio Pakusadewo selain Baim si anak band. ”Awalnya aku gugup ketika tahu lawan mainnya adalah Baim, apalagi ada Om Tio yang telah lama di dunia film.” Kesempatan ini tak disia-siakannya, jika mentok tak segan Jian bertanya kepada seniornya di seni peran itu.

Awal 2008, ketika gelombang film religi menghempas bioskop, Jian ikut terbawa arus. Rumah produksi Starvision mengajaknya bermain dalam Mengaku Rasul. Peran santri bernama Rianti yang otaknya tercuci digenggamnya. ”Sempat nggak pede buat meranin Rianti. Berbeda banget karakternya, dari ronggeng ke perempuan yang ingin mendalami santri,” tuturnya.

Agaknya ucapan itu hanya sekadar basa-basi. Jian bisa dengan anggun bermain dalam film arahan Helfi Kardit itu lantaran diyakinkan oleh orang-orang dekat dan sang sutradara pula. ”Dibantu juga sama proses reading, baca buku biografi tentang rasul,” demikian kiat yang coba diuraikannya.

Lucu memang. Yang tadinya hanya sebuah proses terapi untuk berani kini malah membuat Jian kecanduan. ”Karena sudah sebegitu lamanya, kalau ditinggal rasanya sayang. Istilahnya kalau udah nyebur, ya udah nyebur aja sekalian. Jangan setengah-setengah,” papar Jian lagi. (bat)

Adul, Film dan Faktor Pergaulan

Kota Bandung dikenal sebagai kota yang banyak menghasilkan orang-orang kreatif, mulai dari musisi, pelukis, bahkan pemain film. Khusus untuk yang terakhir ini, tersebutlah nama bintang muda yang ngocol dan enerjik, Abdul Rahman Arif.

Sosoknya muncul pertama kali di layar lebar lewat lm Cewe Matrepolis. Di sini ia harus berperan sebagai lelaki biseks. Peran yang baginya termasuk berat untuk dilakoni. Maklum, pria yang masih masih tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung, ini termasuk muka baru.

“Pas pertama-tama kalinya ketemu kamera itu gue gemeteran dari ujung rambut ke ujung kaki. Sampe-sampe rambut gue yang tadinya lurus jadi sampe keriting kaya gini,” seloroh Adul. Ia memang dikenal sebagai pribadi yang humoris, senang bercanda.

Usai bermain dalam film yang disutradarai oleh Effi Zen ini, Adul kembali ke kehidupannya di Bandung. Ia melanjutkan kuliah sembari melakoni pekerjaan sebagai tenaga marketing. Reza memang tidak niat benar menjadi aktor. “Aduh nggak deh, gue hidupnya kaya gini, kebanyakan di jalan,” tukas Adul.

Tapi pergaulan luasnya pulalah yang menyeretnya ke dunia seni peran. Terlebih dia masih ada ikatan saudara dengan Revaldo, pemeran Bono dalam film 30 Hari Mencari Cinta. “Awalnya gue sering ke Jakarta itu karena gue sering diajak sama Revaldo, dia masih terbilang saudara sama gue,” tukas Adul. Di Jakarta ia pun bertemu dengan Angie, bintang film Virgin, yang menyarankannya untuk terjun ke dunia akting.

Akhirnya ia mencoba-coba untuk ikut casting, iseng-iseng berhadiah, katanya. Dan pria kelahiran 24 Mei 1987 ini akhirnya mendapat hadiahnya berupa peran di Cewe Matrepolis.

Walaupun usai Cewe Matrepolis, ia kembali ke Bandung, kehidupannya ternyata tetap saja bersinggungan dengan dunia hiburan. Dirinya yang konyol, dan dikenal sebagai penghibur di dalam lingkungan teman-temannya ini, kerap menjadi MC di berbagai kesempatan. “Palingan kalo temen gue main di klub, gue suka ngemcin mereka,” ujar Adul merendah.

Bila Cewe Metropolis merupakan buah iseng-iseng berhadiah, beda lagi ceritanya ketika dia bermain dalam film Pulau Hantu. Kisahnya cukup dramatis dan sedikit mengharukan, kata Adul. Kala itu, ia hanya memiliki uang lima ribu rupiah selepas pulang kerja jam sepuluh malam. Angkutan yang biasa dipakai Adul untuk pulang sudah tidak ada lagi yang beroperasi. “Mana gue belom makan lagi. Tapi tiba-tiba temen gue nelpon, ngajakin makan karena dia ulang taun. Nah kebeneran nih,” ungkap Adul dengan sedikit merasa menjadi orang paling beruntung di dunia saat itu. “Mumpung ulang tahun, akhirnya gue mesen makan yang paling mahal hehehe.

Di tengah kenikmatan menyantap makanan mahal itulah, Adul mendapat berkah lain. Ia mendapat telepon dari saudaranya Ufara Dzikri, yang juga bermain di Pulau Hantu, mengajak kembali bermain film. Adul langsung mengiyakan. Saat itu juga suara di ujung sana beralih. Kali ini ternyata ia dihubungi langsung oleh Jose Poernomo, sang sutradara. “Dia nanya, siapa nih? Adul, gue jawab. Punya pengalaman akting ngga? Punya, kata gue lagi. Ya, gue jawabnya kayak gitu, kaya songong gitu deh. Dan gue ngga tau kalo yang ngomong mas Jose,” kenang Adul.

Akhirnya Adul pun diminta untuk ke Jakarta keesokan harinya. “Hah? Besok? Gimana? Duit gue juga tinggal goceng.” Adul menjadi panik sendiri. Namun saat itu adalah saat dimana Adul masih menjadi orang yang beruntung. Adul diantar pulang oleh temannya sampai ke rumah. Selamatlah duit lima ribuannya. “Dasar emang nasib gue lagi baik, duit goceng gue utuh euy,” kenang Adul.

Keesokan harinya, dengan bantuan uang pinjaman dari ibunya, Adul pun berangkat ke Bogork ke rumah saudaranya Ufara Dzikri. Dari sana mereka berdua akan bersama-sama ke Jakarta bertemu Jose Poernomo.

Adul sempat merasa dicuekin ketika ia datang ke lokasi casting di bilangan Simprug. Ia hanya diminta membaca skrip, tapi tidak di-casting sama sekali. “Hah udah deh, balik ke Bandung lagi nih, pikir gue. Tapi duit hasil pinjeman dari nyokap gue tinggal enam ribu, gimana caranya balik ke Bandung? Pusing nih gue,” ungkap Adul.

Tapi, ternyata Adul tetap dibawa ke lokasi reading. Kali ini ia diminta untuk berakting sebagai Nero yang suka ngebanyol. Selesai itu, ia kembali merasa dicuekin. Tidak tahan dengan situasi yang kurang mengenakkan tersebut, sembari memikirkan uang di kantong yang tinggal enam ribu, Adul akhirnya memberanikan diri menanyakan statusnya kepada Jose Poernomo, sang sutradara. “Mas, gimana nih, saya balik ke Bandung apa stay di Jakarta aja,” tukas Adul meniru ucapannya waktu itu.

“Lah emang kenapa harus nanya lagi? ya udah suruh yang di Bandung nge-pack-in barang lo, suruh kirim ke Jakarta.

Titah telah diputuskan. Sontak perasaan Adul campur aduk menjadi satu, senang, bangga, dan haru karena tidak sia-sia ia meminjam uang mamanya. “Hah gue diterima!? Gue seneng banget waktu itu, sampe-sampe gue nggak makan seharian. Nggak nyangka akhirnya gue diterima,” cerita Adul.

Biar pun dalam Pulau Hantu adegan yang melibatkan dirinya sebagai Nero tidak banyak, Adul merupakan salah satu pemain yang dibanggakan Jose. Karena itu pula kenapa sosok Nero kembali dihadirkan dalam Pulau Hantu 2. Padahal, sebelumnya, karakternya tersebut telah mati terbunuh.

Kemampuan akting Adul, ternyata membetot perhatian sutradara muda kawakan Rudy Soedjarwo. Dalam film terbarunya, Liar, Adul ikut ambil peran, walaupun lagi-lagi belum menjadi pemeran utama.

Ke depan, Adul ingin tidak hanya sebagai aktor. Ia ingin mengasah kemampuannya yang lain.“Gue sebenernya pengen jadi orang yang multitalented, yang nggak cuma sebagai pemain aja. Gue juga pengen punya kehlian lain yang bisa gue jual, pada saatnya gue udah ngga bisa berakting lagi,” tuturnya. Tapi, definetly, big thanks to mas Jose Poernomo,” tambah Adul. (ajo)

Keburuntungan Sheila Marcia

“Aku ambisius, tapi aku orangnya gampang down, jadi aku jalanin aja apa adanya sampai ada satu titik terang nantinya. Dan puji tuhan, tawaran film yang datang ke aku masih dalam batasan wajar”

Mencapai sebuah kesuksesan memang dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tinggi, akan tetapi terkadang faktor luck (keberuntungan) juga dapat mempengaruhi perjalanan karir seseorang. Dan faktor luck ini diyakinkan oleh aktris muda Indonesia Sheila Marcia, memberikan pengaruh yang besar dalam perjalanan karirnya di dunia layar lebar Indonesia.

Sebelum mendapatkan keberuntungan yang membawanya ke dunia layar lebar, perjuangan Sheila untuk masuk ke dunia hiburan tidaklah mudah., mulai dari tinggal di kost yang sempit, hingga harus makan satu hari sekali karena ia harus membiayai hidupnya sendiri, setelah ia memutuskan hijrah dari Bali ke Jakarta, di umur 15 tahun. Sesampainya di Jakarta, dengan bermodalkan artikel dan foto dirinya ketika masuk menjadi 20 finalis gadis sampul sebuah majalah remaja , Sheila harus rela untuk naik dan turun angkutan umum menuju rumah produksi setiap harinya.

Namun dengan apa yang diperjuangkan secara maksimal pasti akan membuahkan hasil yang baik, dan akhirnya Sheila mendapatkan kesempatan untuk bermain dalam sebuah sinetron produksi Soraya Film berjudul Ku Telah Jatuh Cinta. Dan disinilah faktor luck (keberuntungan) yang diungkapkan oleh Sheila bermula, ia mendapatkan tawaran untuk bermain dalam film produksi Indika berjudul “Ekskul” garapan sutradara Nayato Fio Nuala.

”Bisa bayangin ngga sih, dengan cuma bermodalkan satu judul sinetron aku bisa masuk ke layar lebar, dan aku menganggap itu sebuah keberuntungan buat aku,” ungkap wanita yang mempunyai nama lengkap Sheila Marcia Joseph ini. Namun, dengan keberuntungan yang didapat olehnya tidak juga membuat dirinya siap memasuki dunia layar lebar, perasaan ragu Di awal-awal mendapatkan tawaran untuk bermain di layar lebar, perasaan ragu justru menghinggapi dirinya.

Namun lagi-lagi Sheila merasakan peruntungannya yang baik karena ia mempunyai seorang guru yang memberikan keyakinan pada dirinya.”Aku ngga tahu kenapa aku bisa keterima bermain di film Ekskul, tapi yang jelas waktu itu bang Eka Sitorus meyakinkan kalau aku punya potensi yang bisa aku kembangin,’ cerita Sheila,”Dan Puji Tuhan rejeki aku sekarang di layar lebar,” tambahnya.

Film Ekskul sendiri merupakan sebuah film yang sempat menimbulkan kontroversi dalam ajang FFI tahun 2006, dan alhasil kemenangan film yang merupakan film pertama dari Sheila Marcia ini dibatalkan oleh BP2N. Entah disadari atau tidak olehnya, setidaknya kontroversi tersebut membawa peruntungan baginya. Namun ada keberuntungan lainnya yang sangat-sangat ia sadari, bahwa dirinya sangat beruntung memiliki orang tua yang sangat mendukung jalur yang ia pilih.

“Puji Tuhan aku ngga pernah ada batasan dari mereka, karena aku sama keluarga aku itu satu pikiran,” jelasnya. Namun dengan tanpa ada batasan dari keluarga bukan berarti Sheila bisa menentukan apa yang ia pilih dengan bebas, ia kerap melakukan terlebih dahulu dengan orang tua. “Sebelum aku mendapatkan peran pun aku langsung telephone mama,” ungkapnya. Tawaran apa yang ia dapatkan, dan akan beradegan apa semuanya dijelaskan kepada sang mama.”Aku jelasin aku mendapat tawaran apa, jadi kalau mama oke aku juga jadi tenang, tapi kalau mama ngga yakin, trus nyuruh aku untuk pikirin lagi, akan aku pikirin lagi, jadi kita sering diskusi,” tukas Sheila yang merupakan pacar dari Roger Danuarta ini.”Tapi bukan berarti aku ngga bisa dapet apa yang aku pengen, walaupun mama nyuruh aku mikirin lagi, tapi misalnya aku ngerasa yakin sama apa yang akan aku lakuin, aku pasti akan jelasin ke mama,” tambahnya.

Saat ini, Sheila termasuk bintang muda yang sering wara-wiri di dunia layar lebar Indonesia. Bahkan sebuah film terbarunya yang bergenre horror akan segera rilis di bioskop seluruh Indonesia dalam waktu dekat. Meski sudah memiliki banyak pengalaman, Sheila terus mengasah kemampuannya dalam berakting. Dan sungguh keberuntungan yang besar baginya, ia dapat berdiskusi dengan sang pacar dan orang tua berkaitan dengan aktingnya.”Aku selalu evaluasi sama orang tuaku, meski mereka bukan aktor atau aktris layar lebar, tapi mereka jago untuk mengevaluasi sesuatu,” jelas Sheila yang mengaku memiliki darah akting dari sang mama, dan musik dari sang papa.

Diskusi bersama orang tua biasa dilakukan Sheila ketika ia pulang ke Bali.”Kalau aku pulang ke Bali, aku selalu bawa film-film aku,” jelasnya. Diakui oleh Sheila, mereka sangat fair dalam menilai kualitas akting Sheila. ”Kalo aku ngga bagus, mereka bilang ngga bagus, jadi bukan mentang-mentang aku anaknya terus mereka cuma bilang yang bagus-bagus aja,” tambahnya. “Bukannya aku narsis ya, tapi aku harus evaluasi terus, kalau ngga dievaluasi aku akan seperti itu terus, monoton dan nggak ada peningkatan,” ucapnya.

Lengkap sudah keberuntungan yang dimiliki oleh Sheila, orang tua, pacar dan karir yang gemilang telah membawanya menjadi seseorang yang bertanggung jawab.”Aku ngerasa beruntung banget punya orang tua seperti mereka, mereka selalu menopang aku, karena doa seorang ibu ngga main-main, mamaku berdoa untuk aku pagi siang dan malam, dan juga tuhan tentunya,” ungkap Sheila.

Thursday, June 19, 2008

Indonesia bans foreign ads

HONG KONG – Indonesia has banned foreign-made advertisements and commercials.

Move, which came in a joint decree from the Ministry of Communication and Informatics (Depkominfo) and the ministry of Culture and Tourism (Depbudpar), is intended to boost the Indonesian ad industry. "Advertisements to be shown in Indonesia must use human and natural resources of Indonesia," it said.

"The joint decree is aimed at giving more opportunities to domestic production houses, and the employment of one foreign expert must be accompanied by three domestic workers for transfer of skill," communications minister Muhammad Nuh said.

Exceptions to the new ruling include commercials for tourism promotion of foreign countries, properties located outside Indonesia; international games, competition and education, and global brands that use the same actors all over the world.

Local television stations with ad revenues of $2.45 billion enjoyed a 66% share of the country's ad market last year. Newspapers accounted for 30% and magazines 4%.

Advertisement spending during the January-March 2008 period increased to $922 million from $747 million in the same period last year.

Wednesday, June 18, 2008

Duo Solaiman Beraksi Di Horor-Thriller Tionghoa

Dalam perkembangannya, film yang mengambil latar budaya Tiong Hoa memang menunjukkan grafik yang menanjak, namun kebanyakan masih bertemakan drama dan percintaan. Bagaimana dengan film horor-thriller yang memanfaatkan tradisi kuno masyarakat Tiong Hoa? Karma adalah jawabannya. Adalah sebuah film produksi Credo Pictures yang kedua setelah sebelumnya menghadirkan film Summer Breeze. Menariknya, dalam film ini terlibatnya duo Solaiman, yaitu Henky dan Verdi Solaiman, yang kemudian juga berperan sebagai bapak dan anak.

“Sebenernya ini adalah kali ketiga gue main bareng sama bokap, pertama serial TV buat di Singapore, yang kedua film JIFFEST berjudul The Anniversary, sama yang terbaru Karma ini,” tukas Verdi ketika ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta. Baginya, bermain bersama sang ayah yang sudah banyak mencicipi asam garam dunia perfilman merupakan sebuah berkah yang luar biasa, sehingga ia dapat mendapat banyak masukan dari sang ayah yang merupakan bintan di era ’80-an.

“Pengalaman emang banyakan bokap, tapi lebih sok tahu gue dibanding bokap, jadinya kita sering debat di lokasi syuting,” tambah Verdi yang mengaku sering menonton film berdua dengan sang ayah.

Karma sendiri bercerita mengenai sebuah keluarga Guan yang tidak memiliki satupun anggota perempuan di dalam keluarganya. Thiong Guan (HIM Damsyik) mempunyai anak laki-laki satu-satunya, Philip (Henky Solaiman). Phillip mempunyai dua anak laki-laki hasil dari dua perkawinan yang berbeda, bernama Martin (Verdi Solaiman) dan Armand (Joe Taslim).

“Setiap mereka mempunyai istri dan melahirkan anak laki-laki, sang ibu pasti meninggal, dan bila melahirkan anak perempuan, sang anak dan sang ibu akan meninggal. Sehingga sang kakek (Tiong Guan) tidak pernah mengizinkan semua ketururunannya untuk mempunyai hubungan dengan seorang wanita,” cerita Verdi.

Penasaran dengan apa yang terjadi dengan keluarga Guan? Nantikan film ini pada bulan Juli mendatang, bersama keahlian akting bintang lainnya macam Him Damsyik, Dominique, Jonathan Mulya, Jenny Chang, dan Joe Taslim. (ajo)

Sumpah Pocong di Sekolah, Film Horor dengan Bonus Cerita

Film horor memang menempati posisi unik di negeri ini. Kendati dihitung-hitung usianya baru 37 tahun (sejak film horor pertama di tanah air yang bertajuk Lisa dibesut oleh sutradara M Sharieffudin di tahun 1971), ternyata penontonnya tak pernah berkurang. Jika dibanding-bandingkan, mungkin lebih banyak film horor yang cuan ketimbang yang amsyong. Tak heran, selalu muncul produser yang awet untuk memproduksi film dari genre ini.

Membuat film horor boleh jadi merupakan tantangan sendiri bagi banyak sineas. Pun bagi seorang Awi Suryadi, sutradara yang acapkali menulis skenario. Ketika muncul lagi di tahun 2008 lewat Claudia/Jasmine, ternyata dia melanjutkan langkahnya dengan membesut satu produk horor. Ah, sedang iseng mungkin atau apapun itu, Awi setuju-setuju saja ketika ditawari Maxima Pictures. ”Asalkan skenarionya dari saya,” demikian cerita pria asal Lampung ini suatu kali.

Tak kurang dari empat bulan sejak Awi menuturkan tentang itu, film bertajuk Sumpah Pocong di Sekolah sudah siap ditonton. Sebuah kerja yang relatif cepat bukan? Menyusul kemudian, kalangan jurnalis diundang untuk menyaksikan film yang naskahnya ditulis oleh sang sutradara.

Sejak awal, Awi memang menjanjikan sisi cerita yang digarap tuntas. Kata-kata inilah yang saya pegang dan dijadikan bekal untuk menikmati adegan demi adegan yang disuguhkan. Sesungguhnya reputasi Awi dalam membuat cerita lumayan terjaga. Apa daya, dewi Fortuna tak pernah mendekat kepadanya. Tengok saja debutnya lewat film Gue Kapok jatuh Cinta yang ditulis dan disutradarai bareng Thomas Nawilis. Nyaris tak terdengar. Nasib Claudia/Jasmine agaknya serupa. Banyak pihak memuji, apa daya sebuah film religi menghempaskannya hingga kandas di pasaran. Nah, sekarang bagaimana jika Awi membuat film horor?

Sumpah pocong adalah sebuah ritual masa lalu, dimana orang yang bersumpah dikafani layaknya seonggok mayat. Namun, ide tentang sumpah ini tak lebih hanya sekadar batu loncatan untuk masuk dalam babak berikut. Pasalnya, usai para pelakunya bersumpah itulah penampakan itupun datang.

Harus diakui jika sisi cerita memang dibuat menarik. Konon, inilah yang membuat bintang film era 80-an Alex Komang mau bergabung dalam proyek tersebut. Selama ini, agak jarang aktor kelas piala Citra mau bermain dalam film horor. ”Om Alex tertarik untuk bermain dalam film ini pas lihat draf pertama,” demikian cerita Awi sedikit berpromosi. Perihal kebenaran cerita barusan memang harus dikonfirmasi lagi. Namun karena Alex sedang sibuk syuting di pulau Belitong, nanti saja lagi kalau sudah pulang ke Jakarta.

Oh ya, kemampuan akting aktor senior itu menjadi bonus yang sayang untuk dilewatkan. Di sini Alex memperlihatkan kebolehannya dalam berlakon. Permainannya di sini terasa lebih dieksploitasi ketimbang saat dia bermain dalam Medley atau Long Road to Heaven yang terkesan hanya numpang lewat tanpa memperlihatkan kelincahan gestur. Sungguh mengasyikkan. Beberapa adegan berat dengan ikhlas dimainkan Alex tanpa mengeluh. ”Iya, om Alex mau tubuhnya dipasangi sling bergelantungan...” papar Awi dengan berapi-api.

Awi benar, Alex memang tampak dikerjai habis-habisan dalam film buatannya. Sampai saat ini, Awi mungkin masih terheran-heran betapa beruntungnya dia bisa membuat film horor yang didukung aktor senior macam Alex, bahkan dengan totalitas seperti itu. (bat)

Herrichan Pantang Menolak Rejeki

Sosok aktor yang satu ini memang khas, mudah untuk dikenali secara fisik. Apalagi film di mana dia bermain pun didominasi genre tertentu. Ya, Herichan selama ini lebih banyak berakting dalam film horor. Debutnya dimulai tiga tahun silam dalam film Koya Pagayo alias Nayato, Panggil Namaku 3X. Dilanjutkan dengan Gotcha, Kawin Kontrak, 40 Hari Bangkitnya Pocong hingga kini yang baru dirilis Sumpah Pocong di Sekolah. Kok lebih banyak horor?

”Ini rejeki. Agak pamali (pantang) kalau sampai nolak rejeki,” ujar cowok kelahiran Surabaya ini dengan sedikit hati-hati. ”Rejeki jangan ditolak sebisa mungkin deh,” tambahnya.

Memang bukan sekadar rejeki. Menurut Heri, kendati banyak bermain dalam genre horor, film-film yang dimainkannya umumnya diarahkan tak hanya oleh satu sutradara. ”Akhirnya kan ada motivasi untuk menambah referensi dari sutradara yang berbeda-beda,” tuturnya. Memang bukan hanya Nayato, ada sutradara Rudi Soedjarwo dan Awi Suryadi yang juga pernah mengarahkan dalam film horor.

Sebagai seorang aktor, Heri ikhlas melakukan apa saja demi tuntutan akting. Dengar saja curhatnya ketika bermain dalam film Awi. ”Saya harus botakin rambut, sampai dicukur habis,” tutur anak sulung dari 3 bersaudara ini. Tak hanya sampai di situ, Heri juga kudu tampil seolah-olah bugil lantaran dikerjai oleh geng senior di sekolahnya. “Tapi tidak mengapa,” katanya.

Sekian lama terjun di ranah hiburan, diam-diam Heri menyimpan obsesi yang dalam. ”Saya kepingin banget bermain peran-peran yang antagonis,” lanjut Heri. Memang, dengan sosoknya yang sedikit bulat dan bertampang culun tak ayal peran-peran berbau komedi yang selalu menghampirinya. ”Oh ya, saya juga ingin menyanyikan original soundtrack dalam film yang saya mainkan kelak,” tambahnya seraya setengah mempromosikan bakatnya di bidang tarik suara.

Wah bahaya. Mau coba-coba menyaingi Acha Septriasa ya? (bat)