Wednesday, October 29, 2008

Asia-Pacific pay TV hits growth spurt

Written by Patrick Frater
Wednesday, 29 October 2008
Story Categories: Cable TV, Hong Kong, Satellite TV, TV,

Pay TV subscriptions in the Asia-Pacific region will grow 17% to 300 million this year, according to a report presented Tuesday at the Cable and Satellite Broadcasting Assn. of Asia's annual confab in Hong Kong.
Of that number, 71 million will be digital connections, said the report published jointly by Casbaa and Standard Chartered Bank. It forecast that Asia's digital pay TV total will soon overtake the U.S.
"Digitization is good for consumers and the industry. Given a greater choice of programming, the possibility of buying content that suits their particular interests and the opportunity to view it when they want, where they want, customers willingly buy," report said.
Report also underlined digital's role in cutting TV piracy.
Study said according to its definition of TV piracy (which excludes content on the Internet, but includes illegal connections, decoder card sharing and satellite overspill), the cost to companies had hit $1.77 billion, and that its growth from 2007's $1.54 billion was fractionally lower than the growth of the legitimate pay TV market.
By far the TV industry's greatest loss -- $1.12 billion -- is in India, which combines under declarations with illicit redistributors. That compares to a legal market worth only $21 million.
But the study did not place piracy as a major fiscal problem for the government as many Indian pirate operations pay tax on their illegal earnings.
Other territories where pirate TV exceeds the legitimate pay TV market include the Philippines, Thailand and Vietnam.

Friday, June 20, 2008

Tutie Kirana, Kembali ke Layar Lebar

Di tengah maraknya wajah segar yang berseliweran di layar lebar, terselip satu-dua yang terhitung veteran. Tutie Kirana menjadi salah satu nama yang dimaksud. Ibu dari Djenar Maesa Ayu ini termasuk aktris yang belakangan ini laris manis dan selalu muncul dalam film nasional. Pemilik nama asli Puji Astutie ini mulai tampil lagi sejak lima tahun silam dalam besutan Nia Dinata. Ca Bau Kan, setelah absen belasan tahun.

Saat ditawari bermain film itu Tutie sempat bertanya kepada Nia tentang siapa yang merekomendasikan namanya. ”Tahu nama Ibu dari Oom Remy,” terang Tutie mengulang ucapan sang sutradara. Remy Silado adalah penulis novel Ca Bau Kan, yang diangkat Nia ke layar lebar dengan judul yang sama.

Remy dan Tutie sendiri sempat main bareng dalam film Tinggal Sesaat Lagi, yang dibesut oleh sutradara Edward Pesta Sirait. Lewat film yang sama, Tutie masuk unggulan untuk Peran Pembantu Terbaik dalam FFI 1987. Dan setelah film tersebut kemudian namanya hilang dari gemerlap layar perak.

Kendati mengaku tidak tampil maksimal, tak pelak Ca Bau Kan menjadi peretas jalan Tutie untuk kembali di jalur film nasional. Pasalnya, setelah film itu beredar, berbondong-bondong sutradara meminangnya untuk tampil dalam film-film mereka. Sebut saja nama-nama macam Riri Riza (Gie dan Tiga Hari untuk Selamanya), Rudi Soedjarwo (Pocong 1—tak jadi diedarkan, dan In the Name of Love), Lola Amaria (Betina), Lance (Jakarta Undercover), dan terakhir ada Viva Westi (May).

Kisah tentang terjunnya Tutie ke dunia film terdengar sungguh klasik: main film karena mengantar saudara atau teman. Alkisah, awal 1970-an, Tutie datang mengantar rekannya Nuke Maya Saphira ke tempat Ratno Timoer. Sutradara Pitrajaya Boernama saat melihat Tutie langsung kepincut dan memberinya peran yang sama dengan pemain yang sudah lebih berkelas macam Nuke dan Camelia Malik dalam film Pendekar Bambu Kuning. Sedangkan Ratno Timoer sendiri menjadi pemeran utama dalam film yang dimaksud.

Pengalaman serupa terjadi lagi pada film berikut, Mama. Ketika itu, Tutie mengantar Agus Melasz berangkat casting pada sutradara Wim Umboh. Lagi-lagi Wim malah lebih tertarik kepada yang mengantar. ”Wah, gue ngga mau lakinya. Gue mau bininya aja,” demikian Tutie menirukan ucapan sang sutradara puluhan tahun silam. Walhasil, Tutie didapuk untuk sebuah peran utama dalam film 70 mm itu.

Kendati sempat bersuamikan seorang sutradara besar macam Sjuman Djaya tidak membuat Tutie kemaruk untuk tampil dalam filmnya. ”Aku bukan tipe orang yang aji mumpung,” ungkap Tutie.

Diakuinya, di era itu banyak aktris yang suaminya sutradara memanfaatkan betul kesempatan itu. ”Kalau aku mau Bung Sjuman itu membuat film kayak Atheis atau apa itu lamaran apa (maksudnya Pinangan- red), itu adalah peran-peran yang sebetulnya Bung Sjuman minta aku main pada saat itu. Tapi aku nolak,” terang Tutie. Alasannya, dia ingin menjadi dirinya sendiri.

Tak semua film yang disutradarai Sjuman, Tutie menolak untuk main. Ada satu alasan yang membuatnya mau berakting dalam Si Doel Anak Betawi. ”Karena aku ngefans ke Benyamin S,” terang Tutie tanpa ragu. Dia menyebut Benyamin luar biasa. ”Sampai ngga bisa syuting. Lihat tampangnya ketawa aja. Habis ekspresinya begitu.”

Dari sekian banyak film yang dimainkannya, Tutie menyebut film yang diproduksi tahun 1972, bertajuk Flamboyan sebagai film yang amat berkesan baginya. ”Itu film luar biasa. Baik untuk cerita maupun teknis ya, set-setnya. Untuk ukuran pada tahun itu sangat mahal. Luar biasa!” tutur Tutie. Namun karena masalah yang terjadi antara Sjuman dan produsernya, film itu batal beredar di pasaran. ”Itu filmnya Bung Sjuman sebelum Si Doel Anak Betawi.”

Bermain film agaknya sudah jadi candu buat Tutie. Katanya, seperti ada yang kurang jika lama tak berakting. Bedanya, kini dia tak harus repot-repot lagi untuk casting sana-sini, melainkan memang diminta untuk bermain. ”Soalnya ketika mereka meminta, kayanya serius,” ujar Tutie.

”Saya sudah dalam posisi yang nothing to loose. Aku sudah sampai di tempat seperti ini dengan usia segini. Bukan sok atau bagaimana, tapi terlalu ngoyo kalau aku harus ngelamar-ngelamar (peran). Jadi istilahnya ya nunggu untuk beberapa peran yang seharusnya aku yakin sutradara muda itu punya referensi, punya visi.” lanjut Tutie lagi.

Setelah puluhan tahun menjadi aktris, Tutie mencoba menjadi produser. ”Ini tantangan sekaligus coba-coba,” terang Tutie. Semua faktor campur-aduk muncul di dalamnya.

”Ini benar-benar modal sendiri sama sepupu. Karena pada saat Rudi datang dengan modal script, sudah jadi, yang ditulis oleh Titien. Menurut aku ini tantangan,” terang Tutie.

Dari sekian banyak kendala yang dipikirnya berat ternyata bukan permodalan, melainkan promosi. Sebagai produser, Tutie mengaku puas dengan karya Rudi itu. (bat)

ASEAN sets digital TV standards

HONG KONG - The broadcast regulators of seven South East Asian countries Thursday set regional standards for the transition from analog to digital broadcasting. They agreed a set of tech specifications for digital set-top decoders and to create new content for digital broadcast.

Sixth running of the ASEAN Digital Broadcasting meeting in Singapore, involving Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand and Vietnam, said "alignment of technical specification standards for set-top-boxes will create economies of scale for equipment manufacturers and help lower the prices of set top-boxes."

The 60 delegates also decided to create an ASEAN High Definition Centre which will provide training for HD production and facilitate HD co-productions within the region. They agreed to produce a 10-part ASEAN documentary series focusing on lifestyle, heritage and culture that will act as a regional unifier and a showcase for global auds.

he ADB meeting built on the earlier decision by the ASEAN ministers responsible for information (AMRI) conference in May 2007 that adopted Europe's Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T) as ASEAN's common standard for terrestrial digital broadcasting.

The ADB officials must now prepare detailed policy considerations for analogue switch-off and submit recommendations to the next AMRI meeting in 2009.

Outstanding topics include: exploring interactive TV software costs; MPEG4 licensing issues; establishment of a common Digital TV sound standard; and a study of the high-definition 720p/1080i transmission and production formats.

Ramon Tungka Siap Sutradarai Film

Sosok aktor yang satu ini memang belum lama di dunia hiburan. Ramon Tungka mengawali karir dalam film karya sutradara Hanung Bramantyo, Catatan Akhir Sekolah. Namun lantaran selektif memilih peran, tak banyak film yang dilakoninya. Sejak 2005 dia baru membintangi 5 judul film. Empat judul lainnya adalah Cinta Silver, Ekskul, Pesan dari Surga dan Tali Pocong Perawan. Kini dia siap-siap melangkah sebagai sutradara film.

“Gue ditawari teman sekaligus manajer gue untuk men-direct project film buat home video,” demikian kabar yang diungkapkan Ramon lewat manajernya Ichwan Persada.

Asal-muasalnya, Ichwan memang ditawari investor untuk menggarap paket film itu sebanyak enam judul. Salah satu yang kebagian termasuk Ramon. Sebelum ini Ichwan memang juga acapkali terlibat dalam produksi beberapa judul film.

”Cuma karena persiapannya mepet dan gue juga pengen mengawali dengan baik, maka gue memutuskan untuk mempersiapkan mental maupun pengetahuan gue dulu,” reaksi Ramon atas tawaran itu.

Menurut pengakuan Ramon, tambah Ichwan, setiap kali syuting dia banyak bertanya kepada sutradara atau juru kamera. Saat ini, Ramon juga mulai membaca buku-buku yang berhubungan dengan pembuatan film.

Namun ini hanya soal waktu. Pasalnya, tambah Ichwan, seiring dengan kematangan dan pengalaman di dunia teater setahun belakangan, Ramon siap untuk menyutradarai film perdananya akhir tahun ini. (bat)

Usai Fiksi, Zeke Tak Kehabisan Proyek

Sudah nonton film Fiksi? Jika anda jeli, ada adegan unik muncul ketika sekelompok pengamen melantunkan tembang Profesor Komodo milik kelompok Zeke and The Popo di tengah hiruk-pikuk warung tenda. Kok bisa lagu indie dibawakan tukang ngamen? Tak usah bingung, penata musik film ini yakni Zeke Khaseli ternyata merupakan frontman band tersebut. Iseng-iseng, dimasukkanlah tembang bernada riang itu. Kok bisa begitu?

”Saya membuat scoring (ilustrasi musik) setelah ada gambarnya,” Zeke menerangkan. Sebelumnya, Zeke juga sudah membaca skenario yang ditulis oleh Joko Anwar. ”Dari cerita itu, musiknya lebih banyak untuk menggambarkan bagaimana suasana hati Alisha,” tutur dia.

Saat hati Alisha (diperankan oleh Ladya Cherryl) sedang girang itulah Zeke menyelipkan tembang bandnya dibawakan oleh sekelompok pengamen. ”Wah, riang-riangnya mereka seperti mengingatkan pada Bob Dylan gitu,” komentar alumni Art Institute of Seattle ini.

Atmosfer gembira yang mendera Zeke mau tak mau berpengaruh jua pada album bandnya. ”Album ZATPP yang kedua sepertinya bakal terpengaruh oleh film Fiksi deh. Genrenya alternatif rock, indie rock gitu. Lebih ringan ketimbang sebelum-sebelumnya,” paparnya.

Kelar menuntaskan ilustrasi musik dalam film karya sutradara Mouly Surya, Zeke harus siap-siap untuk gawe berikutnya. Ke depan, setidaknya ada dua proyek lain yang harus dibereskan. Dua-duanya thriller pula, satu untuk film Joko Anwar, yakni Pintu Terlarang dan satu lagi untuk Mo Brothers yang bertajuk Macabre.

Setelah Kala dan Fiksi, kok thriller terus. Mau jadi spesialis thriller? (bat)

Buah Kelana Viva Westi

Viva Westi dilahirkan 21 September 1972 di Manokwari, ketika itu namanya masih propinsi Irian Jaya. Terjun dalam dunia film apalagi sampai menjadi sutradara mungkin tak pernah terpikir di benaknya. Namun, suatu kali ada satu kejadian yang memaksanya untuk mencemplungkan diri dalam dunia nan glamour ini.

Syahdan pada awal 1990-an, ia sedang jalan-jalan untuk nonton bioskop bersama teman kampus IISIP-nya di Taman Ismail Marzuki. Tak dinyana seorang pria mendatanginya dan kemudian berucap,“ Halo, saya Garin Nugroho. Saya mau bikin film dan saya rasa kamu cocok.“ Demikian ungkap Westi mengenang momen batu pijakan awal dia terjun di dunia gambar hidup.

Proses untuk berakting dalam film, yang kemudian diketahui bertajuk Surat untuk Bidadari itu memang tak mudah. Awalnya, tutur Westi, dirinya cenderung untuk menolak namun ketika sudah bilang setuju, eh produksinya malah batal pula. Akhirnya, setelah vakum dua bulan proyek itu jadi terlaksana. Maka berangkatlah tim SET syuting di Sumba selama sebulan. ”Syutingnya seru sekali. Di sana saya pertama ketemu dengan Nurul Arifin, Adi Kurdi, Monica Oemardi, Jajang C Noer. Itu syuting yang luar biasa.”

Rupanya kapasitas akting Westi dilirik pula oleh sutradara sekaliber Teguh Karya. Sebuah FTV yang diputar di stasiun SCTV bertajuk Indonesia Berbisik menjadi unjuk kemampuannya yang berikut. Lewat lakon yang diputar dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka ini Westi beradu akting dengan Alex Komang. Lagi-lagi di SCTV, ia kebagian peran dalam satu lakon arahan Slamet Rahardjo yang bertajuk Suro Buldog.

Jalan hidup Westi benar-benar berubah sepulangnya syuting dari Sumba. Garin menanyakan kenapa tidak mendaftar di kampus Institut Kesenian Jakarta? Kepalang hanya sekadar menjadi anak wayang, berangkatlah ia ke kampus Cikini untuk menimba ilmu penyutradaraan. Ya, jadi sutradara betulan. Sebagai pemanasan, Westi memulai langkahnya dengan mencoba menulis scenario sinetron Malam Pertama, dan Virgin The Series.

Agaknya Garin ditakdirkan punya campur tangan yang kuat dalam karir Westi. Putri dari Amril Datuk ini diajaknya terlibat dalam beberapa proyek berikut. Tahun 2002, Westi diajak berangkat ke pulau kelahirannya Papua untuk menjadi asisten sutradara Aku Ingin Menciummu Sekali Saja. Setelah itu mereka bareng Lianto Luseno dan Toni Trimarsanto menggarap Serambi. Film ini sempat diputar di ajang Un Certain Regard, Festival Film Cannes 2006.

Diam-diam ternyata Westi tak menyangkal kegemarannya terhadap film horor. Bahkan ia berteman baik dengan sutradara horor macam Arie Aziz dan Nayato Fio Nuala. ”Saya suka Nayato, saya sangat ngefans. Saya selalu bilang sama dia Suster N itu Suster Nayato...,”seloroh Westi sambil tertawa. Recycled, sebuah film milik Pang bersaudara adalah film yang disukai Westi.

Tahun 2007 Westi bertandang ke PT Virgo Putra Film. Usai berdiskusi dengan pihak produser, disepakatilah untuk mengeksekusi satu scenario horor miliknya, Suster N (Dendam Suster Ngesot). Westi sempat mengaku senewen lantaran sobat karibnya Arie Aziz menggunakan idiom suster ngesot juga untuk filmnya, namun akhirnya disepakati dengan tajuk Suster Ngesot The Movie. Apapun hasilnya, Westi tetap lega lantaran merasa sudah membuat sesuatu yang berbeda ketimbang arus utama.

”Sampai saat ini saya masih mencari produser yang ingin dibuatkan film horor. Saya mau,” celoteh Westi. Film horor itu adalah produk yang tergolong sulit dibuat. Pasalnya, shot dibikin harus benar-benar tepat saat hantunya lewat, ekspresinya pas dan itu harus melalui tipuan kamera tukasnya lagi. Intinya, membuat penonton untuk takut lebih sulit ketimbang membuat penonton menangis.

Kelana Westi dalam jagat perfilman rupanya berfaedah. Heru Winanto, produser film ketiganya ternyata orang dari Prima Entertainment, di mana dulu ia biasa menyuplai skenario. Ketika mereka bersua lagi, skenario May yang ditulis oleh Dirmawan Hatta ditawarkan kepadanya.

Lagi-lagi, Westi bersyukur karena selalu ditawari film yang berbeda-beda. ”May ini buat karir saya luar biasa, karena ada satu produser yang ngasih bujet dan kita bisa membuat film yang bagus tanpa dibebani. Ini harus banyak yang nonton ya, harus ini, harus itu.” lanjut Westi lagi.

Di matanya, May adalah satu tontonan alternatif yang berbeda karena berani mengambil kerusuhan sebagai latar belakang. Isu-isu sosial macam begini memang sudah menjadi makanannya karena beberapa ftv bertajuk macam Wo Ai Ni Indonesia atau Jangan Panggil Aku Cina pernah lahir di tangannya. Ini memang tentang perbedaan ras.

Awi Suryadi - Nggak Kapok Berkiprah di Film

Tahun 2008 agaknya menjadi momen yang penuh warna bagi Awi Suryadi. Penulis skenario dan sutradara ini merilis film keduanya Claudia/Jasmine di awal tahun dengan hasil yang mengecewakan. Dilanjutkan dengan skenario film ML (Mau Lagi) yang dia tulis, kendati sudah jadi ternyata harus ditunda rilisnya entah sampai kapan. Terakhir, pertengahan tahun dia Awi membesut Sumpah Pocong di Sekolah, sebuah film horor yang boleh jadi tak pernah terpikir untuk membuatnya. Selesai?

Sebenarnya, Awi Suryadi mengawali debutnya di layar lebar dengan menjadi sutradara film Gue Kapok Jatuh Cinta bersama Thomas Nawilis. Film yang beredar bulan Februari 2006 ini skenarionya juga hasil buatannya. Dua tahun berselang, dia baru muncul lagi di blantika film nasional. Lewat film bertajuk Claudia/Jasmine Awi kembali duduk di kursi sutradara sekaligus menjadi penulis naskah.

Perihal interval yang demikian lama Awi, mengaku sedang membaca pasar. ”Kita dulu mikirnya sebagai rumah produksi sekaligus distribusi,” papar pria kelahiran Bandar Lampung ini. 27ant, rumah produksi yang didirikannya sempat memang bermain dalam bisnis distribusi. Lantaran risiko balik modal yang terlalu lama, terpaksa dia banting stir. ”Sekarang seperti rumah produksi yang kecil-kecil aja deh. Kita borongan bikin film, terus kasih deh ke PH besar.” Menarik diri dari hingar-bingar juga membawa dampak positif untuk Awi. ”Saya jadi punya banyak waktu untuk menulis naskah,” celotehnya dengan antusias.

Semasa kecilnya, film bukanlah barang asing bagi pria bernama asli Suryadi Musalim ini. Sang ayah ternyata adalah distributor film untuk wilayah Sumatera Selatan. Puluhan gedung bioskop sempat dimiliki ayahnya ketika masih berjaya. Sembari iseng-iseng, Awi mudapun sempat diajak sang ayah untuk berkecimpung dalam bisnis tersebut.

Belakangan, anak bungsu dari empat bersaudara ini malah melanjutkan pendidikan tingginya ke negeri paman Sam. Di kota Los Angeles, ia sempat lama berdomisili setelah menamatkan pendidikan teknik sipilnya di kampus California Polytechnic University. Namun bekerja di bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, menangani proyek tata kota misalnya, tak cukup membuatnya puas. Bidang menulis ternyata malah dirasa lebih menyenangkan baginya.

Ada sedikit kisah di balik hobi menulis ini. Rupanya sejak duduk di bangku SMP (ketika itu di Singapura) Awi sempat menjadi joki penulis bagi teman-teman di sekolah. ”Banyak pelajar Indonesia malas kalau disuruh menulis,” tandasnya. Walhasil, iapun memperoleh bayaran atas ketrampilannya. Lumayan juga. Acapkali Awi sempat dikira sebagai orang yang pendiam. Tapi jangan salah, diam-diam justru ia sedang mengamati lawan bicara ataupun mereka yang ada di sekitarnya. Keunikan dari karakter itulah yang kelak dituangkannya dalam naskah cerita. ”Saya memang observant...,” ungkapnya saat ditemui di rumah produser Delon Tio, mitra bisnisnya.

Begitulah, dengan bermodalkan kemampuan menulis cerita tiba-tiba penyuka musik jazz dan rock ini seperti menemukan ilham bahwa film merupakan lahan bisnis yang tepat. Maka, saat kembali ke tanah air Awipun mulai meretas jalan di ranah sinema dengan mendirikan rumah produksi 27ant. Di sana ia berkolaborasi dengan Thomas Nawilis untuk memulai debutnya membuat film drama yang kental dengan bumbu humor. Sayangnya, film Gue Kapok Jatuh Cinta kurang disambut pasar. Namun dia tak jera. Filmnya yang berikut Claudia/Jasmine setali tiga uang nasibnya, ikut-ikutan kandas, padahal banyak pihak yang memuji.

Nasib apes Awi di awal tahun 2008 ini berlanjut. Film yang skenarionya dia tulis, ML (Mau Lagi), ternyata masih gantung nasibnya. Tak jelas kapan akan diputar. ”Naskah itu saya buat untuk Thomas, habis dia gatal ingin kembali ke layar lebar setelah terus-terusan (menjadi sutradara) di televisi,” tuturnya ikut prihatin terhadap nasib sahabatnya.

Jatuh bangun berkali-kali tak menyurutkan semangat Awi. Apalagi masih ada pemodal yang memberikan amanah untuk menuntaskan karya baru. Kali ini datang dari Maxima Pictures yang memberinya proyek film horor. ”Kalau yang biasa-biasa, jangan minta saya,” kilahnya saat ditawari. Permintaan itu disetujui. Maka Awipun merasa tertantang untuk menuntaskan proyek Sumpah Pocong di Sekolah itu dengan caranya sendiri. Dibuatkanlah skenario film itu dengan bumbu komedi yang kental tentunya.

Ternyata, naskah itu membuat aktor sekaliber Alex Komang kepincut.”Bahkan, Oom Alex mau ikut main setelah baca draft 1,” cerita Awi. Yang lebih membuatnya tercengang adalah totalitas yang ditunjukkan aktor peraih Piala Citra itu dalam filmnya, mulai dari rela berhujan-hujan saat syuting dinihari hingga bergelantungan di lantai empat. Tak ayal, film horor Awi tak sekadar menyuguhkan rasa takut kepada penonton tetapi juga bagaimana seorang aktor senior berakting total tanpa peran pengganti.

Agaknya, tahun ini Awi masih akan menuntaskan satu proyek lagi. Kali ini, film komedi dari Rapi Films sudah siap untuk digarap. ”Sebuah komedi tentang persahabatan sih, tapi belum syuting kok,” terang Awi lagi dengan nada optimis.

Asal jangan kerja instan aja, Wi... (bat)