Monday, November 10, 2008

Menabur Ilmu, Menuai Generasi Baru



Perfilman adalah sektor industri nan seksi. Siapa sih yang tak ingin melirik pada bisnis satu ini? Para investor berduyun-duyun menanamkan modalnya di sana. Apakah para pelakunya siap menghadapi tantangan ini? Di sini letak masalahnya. Proyek memang tak pernah kurang, tapi justru malah sumber dayanya yang kewalahan.  

Untuk mencari sumber daya yang mumpuni memang tak mudah. Salah satunya adalah melalui pendidikan formal. Sebut saja Institut Kesenian Jakarta, tapi apakah cukup? Ini masalah yang lain lagi. Jika mayoritas pekerja film adalah lulusan IKJ, maka tiap tahun kandidat pekerjanya datang dengan standar dan materi yang nyaris seragam. Sutradara Nia Dinata sempat mengeluhkan fenomena ini. “Ya bagaimana, para pekerja film kita semua datang dengan standar IKJ, tidak ada perbandingan,” ungkap sineas yang kerap disapa Teteh ini.
 
Bagaimana dengan sekolah film di luar negeri? Boro-boro. Kuliah di IKJ saja tak ada biaya, apalagi harus ke luar negeri. So, adakah solusi lain yang lebih mudah?
 
Salah satunya adalah activism, ini istilah dari Teteh lagi. Beberapa waktu silam dia menyebutkan bahwa Indonesia butuh banyak aktivis di bidang film dan bukan hanya mereka yang menjadikannya ajang memupuk laba. ”Sampai kapan industri ini bisa bertahan? Kalau bisnis ini sudah tak jalan, bisa-bisa mati suri lagi seperti masa lalu,” keluhnya saat itu.
 
Laku activism tak hanya melulu bertaut dengan regulasi. Pelatihan film tanpa melewati jalur formal bisa jadi piranti yang dimaksud. Misalnya workshop ataupun pelatihan ketrampilan di sektor film.  
 
Prakarsa ini banyak dilakoni oleh sineas kita belakangan ini. Ada yang pernah mendengar nama Reload Film Center? Ini merupakan institusi bikinan Rudi Soedjarwo. Langkah senada juga dilakoni Hanung Bramantyo lewat  Dapur Film Community. Kemudian ada pula Moviesta dari Monty Tiwa, Happy Ending Pictures dari Nia Dinata, ataupun Timur Merah milik Helfi CH Kardit.
 
Semuanya bermuara kepada pembelajaran soal film sekaligus penciptaan regenerasi dari kalangan sineas sendiri. Diharapkan kelak, muncul banyak sineas yang bisa diandalkan guna menjawab tantangan produser untuk menggarap lebih banyak proyek lagi.  
 
Tanpa Bayar
Boleh jadi apa yang dilakukan Nia Dinata dengan Happy Ending Pictures-nya sangat unik. Divisi baru dari Kalyana Shira Films menampung siapapun yang memiliki naskah atau minimal sinopsis yang baik. Kelak cerita ini dibangun bersama-sama untuk menjadi film utuh plus sebuah strategi promosi. ”Banyak sekali potensi sutradara dan penulis di luar sana yang tak mendapatkan wadah untuk meluncurkan tulisannya ke publik. Nah, saya ingin mendirikan institusi yang mewadahi itu,” begitu kata Teteh.
 
Duet sutradara Agasyah Karim dan Khalid Kashogi sudah merasakan tangan dingin Teteh. Kata mereka Teteh membimbing untuk membangun proses yang dibutuhkan untuk sebuah pembuatan film. Mulai dari penggodokan skrip, persiapan produksi, pemilihan pemain, produksi, pasca produksi hingga promosi, semua dilakukan atas supervisi Teteh.
 
”Menjadi menarik, karena kita memulai sesuatu yang baru, segar denganfilmmakers baru yang bisa kita ”nurture” lewat proses praproduksi sampai pascaproduksi,” komentar Teteh suatu kali. Untuk magng membuat film dengannya tak sulit. ”Asalkan punya naskah yang menarik, saya tidak mau ketemu orang kalau tidak membawa skrip. Minimal sinopsislah,” ungkapnya bersemangat.
 
Sang Pionir
Jauh sebelum Teteh, Rudi Soedjarwo sudah melakoni hal serupa dengan Reload Film Center. Bedanya, Rudi memberikan pelatihan lebih spesifik kepada masing-masing bidang dalam proses pembuatan film.
 
Reload Film Center berdiri tahun 2006. Di sana tersedia pendidikan di bidangScriptwritingEditingDirectingActingCinematography dan Producing. Namanya juga sekolah, so pasti siswanya kudu membayar sejumlah uang. Namun lantaran ini sekolah non formal, metode mengajar lebih condong kepada praktek. Untuk pemberian materinya lebih sering dilakukan dengan diskusi, siapapun ingin bertanya pasti akan dijawab.
 
Kang Dali, salah seorang dari Reload Film Center, mengatakan bahwa siswa di Reload Film Center selalu aktif untuk bertanya. “Misalnya suatu ketika para siswa Reload akan membuat film pendek, untuk itu mereka akan dibimbing oleh Rudi ataupun para senior yang ada di Reload, lebih banyak belajar dari praktek,” demikian ucapnya. Dijelaskan Dali lagi, setelah mereka banyak belajar, maka tak segan-segan mereka akan dilibatkan untuk magang dalam film-film yang diproduksi oleh Rudi,” ujar Kang Dali lagi.
 
Nyaris Serupa
Semangat serupa untuk menciptakan pekerja film terlatih juga dilakoni Monty Tiwa lewat bendera Moviesta. Kok bisa sama? Tentu saja karena Rudi mendirikan Reload Film Center sendiri bersama Monty Tiwa. Perbedaan visi dari mereka berdua membuat mereka bubar jalan. Menurut Monty, perbedaan visi itu disebabkan oleh masalah penanganan SDM.
 
Rudy dalam Reload Film Center-nya melihat setiap orang harus dapat bekerja sesuai tuntutan industri. Monty lain lagi. Menurutnya, anak-anak adalah anak-anak. Biarkan saja mereka berkembang sesuai porsi masing-masing. “Anak-anak disini kan masih ada yang berusia 18-20 tahun, jadi ngga bisa kita paksa mereka untuk bekerja selayaknya profesional, karena satu hal yang menjadi penekanan gue disini adalah, kita sama-sama berangkat dari cinta film,” tegas Monty.
 
Berangkat dari kecintaan pada film, lalu belajar membuat film, dan akhirnya membuat film. Agaknya itulah bentuk yang ingin dicapai Monty dengan Moviesta familynya. Sebagai sebuah komunitas, so pasti Moviesta terdiri dari orang-orang dengan visi serupa. Pembelajaran tentang film pun dilakukan dalam bentuk workshop yang digelar untuk internal mereka.
 
“Selama ini sih kita memang masih menyelenggarakan workshop untuk kita-kita aja, tapi kita udah punya planning untuk melakukan workshop ke SMA-SMA,” ujar Ika salah seorang anggota komunitas Moviesta. Dalam Workshop yang dilakukan oleh Moviesta itu sendiri juga masih berkenaan dengan script writing, directing, hingga kamera.
 
Kendati selama ini kegiatan Moviesta masih untuk kalangan sendiri, bukan berarti mereka tertutup bagi yang ingin bergabung. “Dateng aja kesini, syaratnya apa ? Kuat-kuatan main pimpong aja sama gue,” ujar Monty setengah bercanda. Ya, komunitas yang berlokasi di Jalan Perdagangan No 1, Bintaro ini memang dibentuk sedemikian rupa layaknya sebuah rumah yang diisi keluarga. “Yah palingan patungan buat bayar listrik aja,” jelas Monty. 
 
Dari kiprah Moviesta Family sendiri sudah terbukti jika regenerasi dan pendidikan film itu penting adanya. Hasil itu tampak dengan munculnya personil mereka dalam tim produksi film Otomatis Romantis, serta menjadi tim penulis skenario dalam film Barbi3. “Gue juga sudah mempersiapkan Vander Tejasukmana, Dias Ardiawan, sama Indra Zahri untuk bisa jadi sutradara,” seloroh pria bertubuh besar ini.
 
Aktivitas Informal
Sungguh menarik kiprah aktivisme para sineas itu. Hanung Bramantyo punya kiat lain lagi lewat Dapur Film Community. Komunitas ini konon didirikan untuk menciptakanfilmmaker-filmmaker yang berkualitas. Awalnya kegiatan dalam komunitas ini bentuknya informal semata.
 
“Paling saya nanya-nanya directingitu apa, segala macam,” cerita Iqbal. Belakangan, lantaran banyak koleksi film dan buku tentang film di sana, dia juga banyak belajar. Hal senada juga diungkapkan Fajar BGT. Dia malah mengawali karirnya di tempat ini dengan ikut magang bersama Hanung. “Saya menjadi pencatat skrip dan asisten editor di film Brownies,” demikian ucap Fajar. Ya, proses belajar itu dilakukan dengan metode learning by doingdiselingi dengan berbagi wawasan.
 
Fajar BGT dan Iqbal Rais adalah dua orang hasil gemblengan Dapur Film Community yang telah mendapatkan kesempatan untuk membuat film. Tahun ini mereka muncul lewat film debutnya, masing-masing Best Friend ?serta The Tarix Jabrix. Khusus untuk yang belakangan, mendapatkan sukses besar di bioskop.
 
Kini Dapur mulai mengarah menuju bentuk formal. Caranya, dengan workshop-workshop dimana para pesertanya juga membayar. ”Tapi nanti dikembalikan dalam bentuk makan siang atau buku diktat,” jelas Fajar. Tak hanya workshop untuk filmmaker, lantaran Dapur juga membuka kursus akting yang disebut DFC Acting Course. Saat ini setidaknya sudah mencapai tiga angkatan yang nantinya mereka akan disalurkan dalam jaringan kerja Dapur macam  film layar lebar, sinetron, video klip, iklan, dan lain-lain.
 
Anak Bungsu
Lahir paling belakangan, Timur Merah asuhan Helfi CH Kardit memang belum punya bukti apa-apa. Tapi jangan salah, dengan semangat ketimuran, Helfi melihat kaderisasi adalah wacana yang akan diusung dalam program Timur Merah.
 
Kaderisasi -termasuk pembelajaran film di dalamnya- dilakukan dengan santai oleh Helfi. Artinya, selama masih ada tempat untuk belajar (magang), sudah barang tentu Helfi akan menerima. Baginya, karena Timur Merah bukan tempat short course maka selama masih ada tempat pasti diterima. “Disini ngga ada pungut-pungutan bayar, karena ini bukan tempat kursus. Yang pasti mereka mau belajar, dan kalau tempatnya masih ketampung pasti gue akan terima,” ujar Helfi.
 
Helfi mencontohkan posisi editor. Helfi memiliki satu orang editor yang menjadi “pegangannya”, namun bukan berarti ia tidak butuh orang lain untuk menjadi editor. “Gue punya dua alat editing, yang satu alatnya itu dikerjakan oleh dua orang,” ujar Helfi. Maka sesuai dengan yang diungkapkan, jika memang ada kuota pasti akan ada kesempatan bagi yang lain.
 
“Waktu itu ada satu anak mahasiswa yang pengen jadi editor, ya gue ajak ngobrol dan dari situ kelihatan apakah dia punya bakat editing atau ngga. Akhirnya sekarang gue kasih kesempatan dia jadi asisten editor. Yang penting harus cinta film dululah,” jelas Helfi.    
 
Kiprah para sineas melakukan regenerasi di atas memang patut dihargai. Pasalnya, mereka tak hanya sekadar berbagi ilmu kepada rekannya yang lebih muda melainkan juga bisa semakin mengasah ilmu lewat proses dialog yang terjalin di sana.
 
 
 
 
 Berikut ini profil singkat "lembaga-lembaga kursus film" tersebut.

Dapur Film Community didirikan oleh Hanung Bramantyo pada tahun 2004. Dalam programnya, Dapur Film Community memberikan workshop yang berkenaan dengan film sekaligus pelatihan akting dengan membayar registrasi di awal. Setelah semuanya berjalan, anggota Dapur Film Community akan dilibatkan dalam beberapa produksi film. Sebagai bukti, Iqbal Rais dan Fajar BGT adalah dua yang telah menjadi sutradara dalam film The Tarix Jabrix dan Best Friend ?. Tertarik untuk bergabung ? Datang saja langsung ke Jl.AMD VIII No. 40 Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Nomor Telephone 021 – 7803212.      

 
Reload Film Center didirikan Rudi Soedjarwo pada tahun 2006. Dengan membayar iuran sekitar Rp 2.500.000, Reload Film Center memberikan Pendidikan di bidang Scriptwriting, Editing, Acting, Cinematography dan Produksi. Sama dengan Dapur Film, Reload Film Center juga akan melibatkan anggotanya dalam film-film yang diproduksi Rudi Soedjarwo. Hal tersebut sudah berlaku bagi anggota Reload Film Center dalam film-film Rudi sepertiMendadak DangdutUjang Pantry 2Pocong 2Liar dan Sebelah Mata. Reload Film Center berlokasi di Jl. Paso No. 19, Ragunan, Jakarta Selatan.
 
Moviesta adalah sebuah komunitas yang didirikan Monty Tiwa pada tahun 2007. Dalam kegiatannya, Moviesta yang bertempat di Jl. Perdagangan No 1 Bintaro ini mengadakan workshop yang berkenaan dengan film. Kegiatan Moviesta sendiri masih dalam lingkungan internal, tapi bukan berarti Moviesta tidak menerima pecinta film untuk ikut bergabung. Moviesta juga mengerahkan seluruh anggotanya dalam setiap produksi film yang akan dikerjakan Monty Tiwa, contohnya dalam film Otomatis Romantis serta Barbi3. Oh iya kalau mau ikutan, iurannya hanya sekedarnya koq. Kalau mau tahu informasi lebihnya, telfon aja dulu ke 021 – 70995738.
 
Happy Ending Pictures beralamat sama dengan kantor Kalyana Shira Films di Jl. Bunga Mawar No.9 Cipete, Jakarta Selatan. Lewat programnya, Happy Ending Pictures yang didirikan oleh Nia Dinata, akan selalu mencari naskah yang menarik untuk kemudian digarap bersama menjadi sebuah film. Seperti yang berlaku bagi Aga dan Ogi dalam film Gara-Gara Bola. Jadi kalau kamu punya naskah atau minimal synopsis yang menarik, kirim saja langsung, atau bisa telephone dulu ke nomor 021 - 7503223 / 7503225.
 
Timur Merah bisa jadi yang belakangan muncul, namun bukan berarti Timur Merah yang didirikan oleh Helfi CH Kardit tidak membawa semangat tinggi. Berdiri di tahun 2008, Helfi CH Kardit menyediakan tempat bagi siapapun untuk belajar sekaligus praktek pengerjaan film seperti editing, artistik ataupun lainnya. Silahkan saja datang ke Jl.Cibulan 1, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Selama masih ada tempat, pasti akan diterima kok.(ajo/bat) 

1 comment:

Anonymous said...

klo timur merah ada no telpon yg bs dihubungi gak?tq