Friday, June 20, 2008
Tutie Kirana, Kembali ke Layar Lebar
Saat ditawari bermain film itu Tutie sempat bertanya kepada Nia tentang siapa yang merekomendasikan namanya. ”Tahu nama Ibu dari Oom Remy,” terang Tutie mengulang ucapan sang sutradara. Remy Silado adalah penulis novel Ca Bau Kan, yang diangkat Nia ke layar lebar dengan judul yang sama.
Remy dan Tutie sendiri sempat main bareng dalam film Tinggal Sesaat Lagi, yang dibesut oleh sutradara Edward Pesta Sirait. Lewat film yang sama, Tutie masuk unggulan untuk Peran Pembantu Terbaik dalam FFI 1987. Dan setelah film tersebut kemudian namanya hilang dari gemerlap layar perak.
Kendati mengaku tidak tampil maksimal, tak pelak Ca Bau Kan menjadi peretas jalan Tutie untuk kembali di jalur film nasional. Pasalnya, setelah film itu beredar, berbondong-bondong sutradara meminangnya untuk tampil dalam film-film mereka. Sebut saja nama-nama macam Riri Riza (Gie dan Tiga Hari untuk Selamanya), Rudi Soedjarwo (Pocong 1—tak jadi diedarkan, dan In the Name of Love), Lola Amaria (Betina), Lance (Jakarta Undercover), dan terakhir ada Viva Westi (May).
Kisah tentang terjunnya Tutie ke dunia film terdengar sungguh klasik: main film karena mengantar saudara atau teman. Alkisah, awal 1970-an, Tutie datang mengantar rekannya Nuke Maya Saphira ke tempat Ratno Timoer. Sutradara Pitrajaya Boernama saat melihat Tutie langsung kepincut dan memberinya peran yang sama dengan pemain yang sudah lebih berkelas macam Nuke dan Camelia Malik dalam film Pendekar Bambu Kuning. Sedangkan Ratno Timoer sendiri menjadi pemeran utama dalam film yang dimaksud.
Pengalaman serupa terjadi lagi pada film berikut, Mama. Ketika itu, Tutie mengantar Agus Melasz berangkat casting pada sutradara Wim Umboh. Lagi-lagi Wim malah lebih tertarik kepada yang mengantar. ”Wah, gue ngga mau lakinya. Gue mau bininya aja,” demikian Tutie menirukan ucapan sang sutradara puluhan tahun silam. Walhasil, Tutie didapuk untuk sebuah peran utama dalam film 70 mm itu.
Kendati sempat bersuamikan seorang sutradara besar macam Sjuman Djaya tidak membuat Tutie kemaruk untuk tampil dalam filmnya. ”Aku bukan tipe orang yang aji mumpung,” ungkap Tutie.
Diakuinya, di era itu banyak aktris yang suaminya sutradara memanfaatkan betul kesempatan itu. ”Kalau aku mau Bung Sjuman itu membuat film kayak Atheis atau apa itu lamaran apa (maksudnya Pinangan- red), itu adalah peran-peran yang sebetulnya Bung Sjuman minta aku main pada saat itu. Tapi aku nolak,” terang Tutie. Alasannya, dia ingin menjadi dirinya sendiri.
Tak semua film yang disutradarai Sjuman, Tutie menolak untuk main. Ada satu alasan yang membuatnya mau berakting dalam Si Doel Anak Betawi. ”Karena aku ngefans ke Benyamin S,” terang Tutie tanpa ragu. Dia menyebut Benyamin luar biasa. ”Sampai ngga bisa syuting. Lihat tampangnya ketawa aja. Habis ekspresinya begitu.”
Dari sekian banyak film yang dimainkannya, Tutie menyebut film yang diproduksi tahun 1972, bertajuk Flamboyan sebagai film yang amat berkesan baginya. ”Itu film luar biasa. Baik untuk cerita maupun teknis ya, set-setnya. Untuk ukuran pada tahun itu sangat mahal. Luar biasa!” tutur Tutie. Namun karena masalah yang terjadi antara Sjuman dan produsernya, film itu batal beredar di pasaran. ”Itu filmnya Bung Sjuman sebelum Si Doel Anak Betawi.”
Bermain film agaknya sudah jadi candu buat Tutie. Katanya, seperti ada yang kurang jika lama tak berakting. Bedanya, kini dia tak harus repot-repot lagi untuk casting sana-sini, melainkan memang diminta untuk bermain. ”Soalnya ketika mereka meminta, kayanya serius,” ujar Tutie.
”Saya sudah dalam posisi yang nothing to loose. Aku sudah sampai di tempat seperti ini dengan usia segini. Bukan sok atau bagaimana, tapi terlalu ngoyo kalau aku harus ngelamar-ngelamar (peran). Jadi istilahnya ya nunggu untuk beberapa peran yang seharusnya aku yakin sutradara muda itu punya referensi, punya visi.” lanjut Tutie lagi.
Setelah puluhan tahun menjadi aktris, Tutie mencoba menjadi produser. ”Ini tantangan sekaligus coba-coba,” terang Tutie. Semua faktor campur-aduk muncul di dalamnya.
”Ini benar-benar modal sendiri sama sepupu. Karena pada saat Rudi datang dengan modal script, sudah jadi, yang ditulis oleh Titien. Menurut aku ini tantangan,” terang Tutie.
Dari sekian banyak kendala yang dipikirnya berat ternyata bukan permodalan, melainkan promosi. Sebagai produser, Tutie mengaku puas dengan karya Rudi itu. (bat)
ASEAN sets digital TV standards
Sixth running of the ASEAN Digital Broadcasting meeting in Singapore, involving Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand and Vietnam, said "alignment of technical specification standards for set-top-boxes will create economies of scale for equipment manufacturers and help lower the prices of set top-boxes."
The 60 delegates also decided to create an ASEAN High Definition Centre which will provide training for HD production and facilitate HD co-productions within the region. They agreed to produce a 10-part ASEAN documentary series focusing on lifestyle, heritage and culture that will act as a regional unifier and a showcase for global auds.
he ADB meeting built on the earlier decision by the ASEAN ministers responsible for information (AMRI) conference in May 2007 that adopted Europe's Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T) as ASEAN's common standard for terrestrial digital broadcasting.
The ADB officials must now prepare detailed policy considerations for analogue switch-off and submit recommendations to the next AMRI meeting in 2009.
Outstanding topics include: exploring interactive TV software costs; MPEG4 licensing issues; establishment of a common Digital TV sound standard; and a study of the high-definition 720p/1080i transmission and production formats.
Ramon Tungka Siap Sutradarai Film
Usai Fiksi, Zeke Tak Kehabisan Proyek
Buah Kelana Viva Westi
Viva Westi dilahirkan 21 September 1972 di Manokwari, ketika itu namanya masih propinsi Irian Jaya. Terjun dalam dunia film apalagi sampai menjadi sutradara mungkin tak pernah terpikir di benaknya. Namun, suatu kali ada satu kejadian yang memaksanya untuk mencemplungkan diri dalam dunia nan glamour ini.
Awi Suryadi - Nggak Kapok Berkiprah di Film
Sebenarnya, Awi Suryadi mengawali debutnya di layar lebar dengan menjadi sutradara film Gue Kapok Jatuh Cinta bersama Thomas Nawilis. Film yang beredar bulan Februari 2006 ini skenarionya juga hasil buatannya. Dua tahun berselang, dia baru muncul lagi di blantika film nasional. Lewat film bertajuk Claudia/Jasmine Awi kembali duduk di kursi sutradara sekaligus menjadi penulis naskah.
Perihal interval yang demikian lama Awi, mengaku sedang membaca pasar. ”Kita dulu mikirnya sebagai rumah produksi sekaligus distribusi,” papar pria kelahiran Bandar Lampung ini. 27ant, rumah produksi yang didirikannya sempat memang bermain dalam bisnis distribusi. Lantaran risiko balik modal yang terlalu lama, terpaksa dia banting stir. ”Sekarang seperti rumah produksi yang kecil-kecil aja deh. Kita borongan bikin film, terus kasih deh ke PH besar.” Menarik diri dari hingar-bingar juga membawa dampak positif untuk Awi. ”Saya jadi punya banyak waktu untuk menulis naskah,” celotehnya dengan antusias.
Semasa kecilnya, film bukanlah barang asing bagi pria bernama asli Suryadi Musalim ini. Sang ayah ternyata adalah distributor film untuk wilayah Sumatera Selatan. Puluhan gedung bioskop sempat dimiliki ayahnya ketika masih berjaya. Sembari iseng-iseng, Awi mudapun sempat diajak sang ayah untuk berkecimpung dalam bisnis tersebut.
Belakangan, anak bungsu dari empat bersaudara ini malah melanjutkan pendidikan tingginya ke negeri paman Sam. Di kota Los Angeles, ia sempat lama berdomisili setelah menamatkan pendidikan teknik sipilnya di kampus California Polytechnic University. Namun bekerja di bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, menangani proyek tata kota misalnya, tak cukup membuatnya puas. Bidang menulis ternyata malah dirasa lebih menyenangkan baginya.
Ada sedikit kisah di balik hobi menulis ini. Rupanya sejak duduk di bangku SMP (ketika itu di Singapura) Awi sempat menjadi joki penulis bagi teman-teman di sekolah. ”Banyak pelajar Indonesia malas kalau disuruh menulis,” tandasnya. Walhasil, iapun memperoleh bayaran atas ketrampilannya. Lumayan juga. Acapkali Awi sempat dikira sebagai orang yang pendiam. Tapi jangan salah, diam-diam justru ia sedang mengamati lawan bicara ataupun mereka yang ada di sekitarnya. Keunikan dari karakter itulah yang kelak dituangkannya dalam naskah cerita. ”Saya memang observant...,” ungkapnya saat ditemui di rumah produser Delon Tio, mitra bisnisnya.
Begitulah, dengan bermodalkan kemampuan menulis cerita tiba-tiba penyuka musik jazz dan rock ini seperti menemukan ilham bahwa film merupakan lahan bisnis yang tepat. Maka, saat kembali ke tanah air Awipun mulai meretas jalan di ranah sinema dengan mendirikan rumah produksi 27ant. Di sana ia berkolaborasi dengan Thomas Nawilis untuk memulai debutnya membuat film drama yang kental dengan bumbu humor. Sayangnya, film Gue Kapok Jatuh Cinta kurang disambut pasar. Namun dia tak jera. Filmnya yang berikut Claudia/Jasmine setali tiga uang nasibnya, ikut-ikutan kandas, padahal banyak pihak yang memuji.
Nasib apes Awi di awal tahun 2008 ini berlanjut. Film yang skenarionya dia tulis, ML (Mau Lagi), ternyata masih gantung nasibnya. Tak jelas kapan akan diputar. ”Naskah itu saya buat untuk Thomas, habis dia gatal ingin kembali ke layar lebar setelah terus-terusan (menjadi sutradara) di televisi,” tuturnya ikut prihatin terhadap nasib sahabatnya.
Jatuh bangun berkali-kali tak menyurutkan semangat Awi. Apalagi masih ada pemodal yang memberikan amanah untuk menuntaskan karya baru. Kali ini datang dari Maxima Pictures yang memberinya proyek film horor. ”Kalau yang biasa-biasa, jangan minta saya,” kilahnya saat ditawari. Permintaan itu disetujui. Maka Awipun merasa tertantang untuk menuntaskan proyek Sumpah Pocong di Sekolah itu dengan caranya sendiri. Dibuatkanlah skenario film itu dengan bumbu komedi yang kental tentunya.
Ternyata, naskah itu membuat aktor sekaliber Alex Komang kepincut.”Bahkan, Oom Alex mau ikut main setelah baca draft 1,” cerita Awi. Yang lebih membuatnya tercengang adalah totalitas yang ditunjukkan aktor peraih Piala Citra itu dalam filmnya, mulai dari rela berhujan-hujan saat syuting dinihari hingga bergelantungan di lantai empat. Tak ayal, film horor Awi tak sekadar menyuguhkan rasa takut kepada penonton tetapi juga bagaimana seorang aktor senior berakting total tanpa peran pengganti.
Agaknya, tahun ini Awi masih akan menuntaskan satu proyek lagi. Kali ini, film komedi dari Rapi Films sudah siap untuk digarap. ”Sebuah komedi tentang persahabatan sih, tapi belum syuting kok,” terang Awi lagi dengan nada optimis.
Asal jangan kerja instan aja, Wi... (bat)
Rako Prijanto, Sutradara dengan Selera Puitis
Akhirnya film drama itu meledak dan melambungkan pasangan duet Dian Sastrowardoyo-Nicholas Saputra. Bahkan menjadi film nasional pertama yang ditonton lebih dari satu juta orang di bioskop tanah air. Bagi Rako, film ini hanya sebuah proses belajarnya sebagai insan film. Pasalnya, dalam kapasitas sebagai penulis skenario ini menjadi kali ketiga setelah Bintang Jatuh dan Tragedy, dua film yang dibesut Rudi Soedjarwo. Kebetulan, Rako juga menjabat sebagai asisten sutradara di keduanya. Bahkan di Tragedy, diapun didapuk jadi salah satu aktor utama.
Sejenak Rako sempat mengenang film yang menjadi debutnya. Saat itu mereka nongkrong bareng Rudi Soedjarwo dan teman-teman lain macam Indra Birowo, Gary Iskak, hingga Sapto Sutardjo, tukang casting sejuta umat. Rudi yang sedang putus asa karena idenya ditolak stasiun televisi lokal mengajak untuk membuat film indie. ”Syutingnya pakai format video digital, jadi biayanya rendah,” papar Rako lagi. Kalangan muda yang sedang kangen dengan hadirnya film nasional menyambut antusias film Bintang Jatuh.
Sukses itu membuat Rako tersadar bahwa dia bisa mencari uang dari film. ”Pokoknya mati hidup dari film deh,” tegasnya. Inilah semacam titik balik yang penting bagi masa depannya kelak. Selain soal sandaran hidup, Bintang Jatuh juga membawa hikmah lain. Produser Miles Film, Mira Lesmana melirik Rako dan tim untuk menggarap film yang kemudian fenomenal itu.
Rako cukup lihai memanfaatkan kesempatan bisa dekat dengan para sineas yang lebih senior. Bersama rumah produksi Miles, Rako sempat menjadi asisten sutradara dari Riri Riza dalam Eliana, Eliana. Kemudian posisi itu masih berlanjut bersama Sekar Ayu Asmara dalam Biola tak Berdawai dan Riri dalam Gie. ”Gue mundur dari film Gie karena sakit,” tutur Rako lagi.
Setelah ilmunya dirasa cukup, barulah dia mendapat kepercayaan untuk duduk di kursi sutradara. Film Ungu Violet, yang dibayai Sinemart memperlihatkan hasrat Rako untuk menghadirkan produk artistik. Judulnya saja sudah melambangkan hal itu, ungu sebagai paduan warna merah dan biru. Warna inilah yang dipakai sebagai simbol protagonisnya. Merah adalah warna untuk Kalin (Dian Sastrowardoyo) dan biru untuk Lando (Rizky Hanggono).
Perihal seleranya yang kaya dengan elemen artistik, Rako mengaku penyebabnya lantaran keranjingan nonton. Karya-karya macam Godfather milik Francis Ford Coppola atau Crouching Tiger Hidden Dragon dari Ang Lee menjadi referensi yang selalu membekas dalam benaknya. ”Godfather itu film drama but not a simple movie,” paparnya.
Selera artistik Rako kemudian berlanjut dalam film-film berikutnya. Memang sih, tidak sekental permainan simbol warna a la Ungu Violet. Namun dari preferensi pemilihan cerita setidaknya menyiratkan sesuatu yang berbeda. Dalam D’Biji’s dan Merah Itu Cinta misalnya, dia mencoba bercerita tentang wacana queer, yang satu dengan aroma komedi dan satu lagi dengan aroma tragedi. Tak segan-segan pula dia menyebutkan film macam apa kelak yang menjadi obsesinya. ”Satu, saya ingin membuat film drama tentang tari. Mau salsa, tango, ballroom entahlah. Terus yang kedua, saya ingin membuat film horor,” tutur Rako.
Menyandarkan hidup sebagai pekerja kreatif memang pilihan tepat bagi lulusan Ekonomi Perbankan Stekpi ini. Talentanya tak hanya sekadar menulis, ia juga punya kemampuan di musik. Original soundtrack film Tragedy sempat digarapnya di tahun 2000. Di sana dia menata musik bersama Upi De Broer dengan semangat 45. Sampulnya kasetnyapun apa adanya berupa sehelai kertas fotokopian. Beberapa tembang bergenre pop dan dance sempat dituntaskannya. Dalam Eliana, Eliana, Rako juga menulis lirik tembang Cantik Berbisa, sementara komposisi musiknya dibuat oleh Djadug Ferianto. Kiprah musiknya berlanjut di film Arisan, dimana Rako sempat melantunkan tembang lawas milik Hedy Yunus, Prahara Cinta.
Lukman Sardi dalam 2 generasi
Tidak banyak aktor maupun aktris Indonesia yang masih eksis dalam dua generasi perfilman Indonesia. Generasi yang dimaksud adalah generasi dimana perfilman Indonesia masih menggunakan proses dubbing dalam proses pengisian suaranya, dan generasi yang satu lagi adalah generasi yang lebih maju, dimana proses pengisian suaranya telah menggunakan tekhnologi digital, biasa disebut direct sound. Lalu siapa aktor atau aktris yang pernah merasakan dua fase tersebut? Lukman Sardi adalah salah satunya.
Karir perfilmannya sendiri terbagi dalam dua fase di kehidupannya, pertama adalah ketika ia masih berusia 5 tahun. Putra dari maestro biola Indonesia Idris Sardi ini, mendapat tawaran dari sutradara Wim Umboh untuk bermain dalam salah satu filmnya. Dengan persetujuan sang ayah, dengan mantap Lukman Kecil memulai karirnya sebagai aktor cilik.
Film pertama Lukman berjudul Pengemis dan Tukang Becak, produksi PT Jaya Bersaudara Film. Dalam film yang diproduksi tahun 1978 ini, Lukman bemain bersama Christine Hakim, Alan Suryaningrat, Ully Artha, Dicky Zulkarnaen, Chris Steven, Henry Susanto, serta sang kakak Ajeng Triani Sardi. Hingga menjelang lulus SMP, setidaknya, Lukman yang lahir di Jakarta pada 14 Juli 1971 ini telah membintangi delapan judul film, yairu Kembang-Kembang Plastik, Pengemis dan Tukang Becak, Anak-anak Tak Beribu, Gema Hati Bernyanyi, Laki-Laki Dalam Pelukan, Bermain Drama, Beningnya Hati Seorang Gadis, serta Cubit-Cubitan.
Beranjak remaja, kehidupan Lukman jauh dari dunia film, dan menjadi seorang aktor bukanlah menjadi tujuan hidupnya ketika itu. Disinilah fase kedua Lukman berawal, sebuah fase dimana Lukman yang saat ini adalah seorang aktor kawakan Indonesia, pernah menjalani sebuah fase jauh dari dunia akting. Ketika SMA, Lukman pernah berfikir untuk menjadi seorang tentara. Akan tetapi, dengan basic pelajaran SMA yang berbeda, pada akhirnya membuat ia mengurungkan niatnya itu. Akhirnya Lukman melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah dengan mengambil Fakultas Hukum di Universitas Trisakti Jakarta.
Mendapatkan gelar Sarjana Hukum, tidak serta merta membuat Lukman tertarik bekerja di bidang hukum, karena ia melihat praktek hukum di Indonesia masih kacau balau. Hingga ia beralih profesi sebagai seorang sales asuransi, dan juga mendirikan serta mengelola sebuah playgroup.
Namun sebuah tawaran untuk bermain sinetron membuat ia berfikir untuk kembali ke dunia yang pernah membesarkan namanya ketika kecil. Adalah sinetron berjudul Cinta Yang Kumau serta sebuah sinetron lepas berjudul Kawin Lari. Dalam proses pengerjaan sinetron itu, Lukman merasakan kenikmatannya dalam berakting. Dan selepas dari sinetron tersebut, Lukman mendapatkan tawaran untuk casting dalam sebuah film yang akhirnya membawa namanya kembali ke dunia layar lebar, yaitu Gie yang diperankannya bersama Nicholas Saputra.
Disinilah fase kehidupan seorang aktor bagi Lukman Sardi ia dapatkan kembali. Film-film besar seperti Berbagi Suami, 9 Naga, Pesan Dari Surga, Nagabonar Jadi 2 serta Quickie Express adalah judul-judul film yang ia bintangi. Dan sebuah film terbarunya berjudul In The Name Of Love yang akan segera tayang, menyanding namanya kembali bersama aktris besar Indonesia, Christine Hakim.
Deddy Mizwar, Bintang Lintas Generasi
Tidak banyak aktor maupun aktris Indonesia yang masih eksis dalam dua generasi perfilman Indonesia. Generasi yang dimaksud adalah generasi dimana perfilman Indonesia masih menggunakan proses dubbing dalam proses pengisian suaranya, dan generasi yang satu lagi adalah generasi yang lebih maju, dimana proses pengisian suaranya telah menggunakan tekhnologi digital, biasa disebut direct sound. Lalu siapa aktor atau aktris yang pernah merasakan dua fase tersebut? Lukman Sardi adalah salah satunya.
Karir perfilmannya sendiri terbagi dalam dua fase di kehidupannya, pertama adalah ketika ia masih berusia 5 tahun. Putra dari maestro biola Indonesia Idris Sardi ini, mendapat tawaran dari sutradara Wim Umboh untuk bermain dalam salah satu filmnya. Dengan persetujuan sang ayah, dengan mantap Lukman Kecil memulai karirnya sebagai aktor cilik.
Film pertama Lukman berjudul Pengemis dan Tukang Becak, produksi PT Jaya Bersaudara Film. Dalam film yang diproduksi tahun 1978 ini, Lukman bemain bersama Christine Hakim, Alan Suryaningrat, Ully Artha, Dicky Zulkarnaen, Chris Steven, Henry Susanto, serta sang kakak Ajeng Triani Sardi. Hingga menjelang lulus SMP, setidaknya, Lukman yang lahir di Jakarta pada 14 Juli 1971 ini telah membintangi delapan judul film, yairu Kembang-Kembang Plastik, Pengemis dan Tukang Becak, Anak-anak Tak Beribu, Gema Hati Bernyanyi, Laki-Laki Dalam Pelukan, Bermain Drama, Beningnya Hati Seorang Gadis, serta Cubit-Cubitan.
Beranjak remaja, kehidupan Lukman jauh dari dunia film, dan menjadi seorang aktor bukanlah menjadi tujuan hidupnya ketika itu. Disinilah fase kedua Lukman berawal, sebuah fase dimana Lukman yang saat ini adalah seorang aktor kawakan Indonesia, pernah menjalani sebuah fase jauh dari dunia akting. Ketika SMA, Lukman pernah berfikir untuk menjadi seorang tentara. Akan tetapi, dengan basic pelajaran SMA yang berbeda, pada akhirnya membuat ia mengurungkan niatnya itu. Akhirnya Lukman melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah dengan mengambil Fakultas Hukum di Universitas Trisakti Jakarta.
Mendapatkan gelar Sarjana Hukum, tidak serta merta membuat Lukman tertarik bekerja di bidang hukum, karena ia melihat praktek hukum di Indonesia masih kacau balau. Hingga ia beralih profesi sebagai seorang sales asuransi, dan juga mendirikan serta mengelola sebuah playgroup.
Namun sebuah tawaran untuk bermain sinetron membuat ia berfikir untuk kembali ke dunia yang pernah membesarkan namanya ketika kecil. Adalah sinetron berjudul Cinta Yang Kumau serta sebuah sinetron lepas berjudul Kawin Lari. Dalam proses pengerjaan sinetron itu, Lukman merasakan kenikmatannya dalam berakting. Dan selepas dari sinetron tersebut, Lukman mendapatkan tawaran untuk casting dalam sebuah film yang akhirnya membawa namanya kembali ke dunia layar lebar, yaitu Gie yang diperankannya bersama Nicholas Saputra.
Disinilah fase kehidupan seorang aktor bagi Lukman Sardi ia dapatkan kembali. Film-film besar seperti Berbagi Suami, 9 Naga, Pesan Dari Surga, Nagabonar Jadi 2 serta Quickie Express adalah judul-judul film yang ia bintangi. Dan sebuah film terbarunya berjudul In The Name Of Love yang akan segera tayang, menyanding namanya kembali bersama aktris besar Indonesia, Christine Hakim.
Wiwid
Kota kembang Bandung banyak melahirkan orang kesohor di negeri ini. Salah satunya adalah Meriam Bellina. Bintang yang beken di era 80-an ini pada zamannya terbilang berani memainkan adegan panas sehingga dijuluki “Bom Sex Indonesia”. Karena kepiawaiannya berakting ia juga dijuluki “Magma Perfilman Indonesia”. Dua dekade kemudian, dari kota yang sama lahir titisan Meriam. Namanya Wiwid Gunawan. Mampukah dia menjadi magma baru?
Apa reaksi keluarganya? ”Oh ngga apa-apa. Kalau keluarga sih seru-seru aja gitu kan yah,” komentarnya dengan logat Sunda yang khas.
Arifin Putra - Ingin Serious Film
Sudah nonton film Lost in Love? Kalau sudah, Anda tentu kenal dengan sosok yang satu ini. Arifin Putra namanya. Ia lahir di Jakarta pada 1 Mei 1987, dari seorang ayah Jerman dan ibu pribumi. Masa kecil pria yang satu ini terbilang unik, karena ia besar dalam keluarga yang menggunakan tiga bahasa berbeda, trilingual ia menyebutnya. “Kalo sama bokap pasti ngomong pake bahasa Jerman, sama nyokap ngomong Indonesia. Nah pas remaja aku belajar bahasa Inggris, jadi trilingual deh,” ucap Arifin.
Nicky Tirty, Dari Iklan ke Layar Lebar
Dunia hiburan memang sudah dekat dengan kehidupan Nicky semenjak ia masih kecil. Pasalnya sang kakak, Nia Lavenia adalah seorang penyanyi dan aktris yang dikenal di era 90-an. Kehidupan public figure sang kakak ternyata menarik minat anak kelima dari delapan bersaudara ini untuk terjun ke dunia hiburan. Ia telah melakoninya sejak berusia delapan tahun. “Saya sering nganterin dia syuting, bawain barangnya dia, balesin surat penggemarnya. Pokoknya udah kaya asistennya dia deh,” ujar Nicky.
Tapi tekad bulat Nicky di atas segalanya. Diam-diam dia tetap mengikut casting iklan, walaupun ia harus selalu siap sedia diomelin kedua orang tuanya ketika melihat iklan terbarunya nongol di televisi.
Karir Nicky kian moncer ketika ia terpilih sebagai Top Guess Aneka pada tahun 2003. Padahal saat itu ia tercatat sebagai peserta paling tua dan paling pendek tinggi badannya.
Ada kejutan manis ketika pengumuman kemenangan Nicky saat itu. Tanpa dia duga sama sekali, ternyatak kedua orang tuanya, yang telah menetap di Australia, secara khusus datang ke acara tersebut. “Pas saya dinyatain menang sebagai juara satu, ternyata keluarga saya hadir semua. Mereka datang dari Australia khusus untuk melihat saya dan mereka teriak-teriak pas saya menang,” kenang Nicky.
Dengan bekal sebagai pemenang Top Guess Aneka, tawaran iklan dan sinetron pun berdatangan. Sinetron pertamanya adalah Bidadari. Lagi-lagi, ia menjadi orang paling tua ketika casting. Maklum, sinetraon ini bercerita tentang anak SMA, sementara Nicky telah berusia 20 tahun kala itu. “Jadilah gue orang yang paling tua lagi disana. Parahnya gue disuruh cukur bulu kaki,” tutur Nicky yang mengaku enggan mencukur bulu kakinya karena menganggap banyak anak SMP diluar sana yang bulunya banyak.
Pilihan untuk mencukur bulu kaki ini ternyata tidak sia-sia. Sinetron Bidadari berhasil mendapat rating tinggi. Namanya pun kian dikenal banyak orang. “Walau baru main satu episode udah lumayan banyak yang kenal saya. Wah udah terkenal nih gue.”
Berangkat dari kesuksesannya di sinetron tersebut, tawaran untuk bermain di sinetron dan FTV lainnya mulai berdatangan. Nicky tercatat terlibat dalam Joey dan Jessy, Kala Cinta Menggoda, Pacar Khayalan, Dendam Asmara, Senandung Masa Puber, dan Satu Cincin Dua Cinta.
Sukses yan telah direguknya di dunia hiburan, ternyata tidak serta-merta melunakkan hati kedua orang tuanya. “Mereka memang nggak sepenuhnya ngebolehin gitu aja. Dikasih wejangan-wejangan dulu lah. Buat mereka, ini adalah dunia yang bisa merusak fisik atau mental, sehingga mereka minta untuk saya bisa menjaga diri,” tutur Nicky panjang lebar.
Tapi akhirnya, semakin Nicky dewasa, orang tuanya juga mulai memberi kebebasan pada Nicky untuk memilih pilihannya sendiri. “Buat saya pribadi, karena saya menghargai kebebasan yang udah dikasih, saya juga ngga mau ngecewain. Saya juga ngga mau ngerusak,” tambah Nicky.
Impian Nicky untuk terjun ke layar lebar pun mulai terkuak. Sebuah film berjudul Pulau Hantu 2 menjadi film pertamanya.
Tekad Nicky untuk berkarir di dunia akting kian bulat. Tapi ia tidak ingin sekadar menjadi aktor. Suatu hari kelak, pria yang hobi olah raga, ini ingin kerja di belakang layar dan ia ingin segera memulainya. Nicky sekarang sedang menyortir sekolah-sekolah broadcasting di Australia yang pantas baginya. Dan untuk yang terakhir ini, ia mendapat dukungan penuh dari orang tuanya. (ajo)Jian Batar, Ditinggal Rasanya Sayang
Bekal keberanian itu pun perlahan tumbuh. Apalagi ketika Jian masuk sebagai finalis model majalah Kawanku di tahun 2005. Seorang sutradara sinetron, Key Mangunsong, kemudian menyarankan dia untuk sekolah akting. ”Saya masuk Sakti Actor Studio,” demikian Jian memulai ceritanya. Di sanalah cewek alumni SMUN 30, Jakarta ini menerima dasar teori peran.
Tak lama belajar, satu per satu tawaranpun datang. Mulai dari iklan produk hingga sinetron dan FTV, salah satunya Anakku Bukan Anakku. Setelah itu, ada panggilan dari untuk bermain film layar lebar perdananya, KM 14. Agaknya film ini bukan debut yang berkesan buat Jian lantaran porsinya peran pembantu.
Di film kedua, Legenda Sundel Bolong, yang membuatnya sangat antusias. ”Senang banget! Ini sebuah kesempatan emas yang nggak setiap pemain bisa dapat dengan mudah, main film dengan sutradara Hanung,” begitu komentarnya. Kendati gugup, arahan sutradara pemenang Piala Citra 2005 ini sangat membuatnya nyaman. ”Mas Hanung tuh nggak yang keras dan galak.”
Legenda Sundel Bolong memang tak sekadar film horor. Selain legenda urban yang sudah mengakar di masyarakat, film ini mencoba bercerita tentang ketimpangan sosial. Jian termasuk beruntung bisa mendapat kesempatan untuk peran utama di sana. Dia harus memainkan dua karakter yang berbeda, sebagai Imah sang penari ronggeng dan sebagai sang hantu sundel bolong. ”Di saat aku jadi Imah, aku tuh harus yang menjadi wanita yang menggoda dan menggairahkan, ” celoteh Imah, eh Jian suatu kali.
Sebaliknya, saat menjadi sundel bolong Jian harus berakting memainkan wajah seram. Secara fisik, kulitnya harus dibuat gelap lantaran kulitnya yang terlalu putih. Tentu saja kondisi ini sungguh membuatnya lelah. Apalagi selama proses syuting, dia terus-menerus mengenakan busana tradisional, kebaya Sunda. Untunglah pihak sekolah memberikan dispensasi saat pembuatan film ini. Izin absen sekolah dberikan selama dua minggu. Hmmm, ini pasti karena faktor sutradara.
Faktor lawan main, juga menjadi semacam pelajaran akting buat Jian. Maklumlah, sebagai Imah dia beradu akting dengan aktor kelas Piala Citra, Tio Pakusadewo selain Baim si anak band. ”Awalnya aku gugup ketika tahu lawan mainnya adalah Baim, apalagi ada Om Tio yang telah lama di dunia film.” Kesempatan ini tak disia-siakannya, jika mentok tak segan Jian bertanya kepada seniornya di seni peran itu.
Awal 2008, ketika gelombang film religi menghempas bioskop, Jian ikut terbawa arus. Rumah produksi Starvision mengajaknya bermain dalam Mengaku Rasul. Peran santri bernama Rianti yang otaknya tercuci digenggamnya. ”Sempat nggak pede buat meranin Rianti. Berbeda banget karakternya, dari ronggeng ke perempuan yang ingin mendalami santri,” tuturnya.
Agaknya ucapan itu hanya sekadar basa-basi. Jian bisa dengan anggun bermain dalam film arahan Helfi Kardit itu lantaran diyakinkan oleh orang-orang dekat dan sang sutradara pula. ”Dibantu juga sama proses reading, baca buku biografi tentang rasul,” demikian kiat yang coba diuraikannya.
Adul, Film dan Faktor Pergaulan
Kota Bandung dikenal sebagai
Keburuntungan Sheila Marcia
“Aku ambisius, tapi aku orangnya gampang down, jadi aku jalanin aja apa adanya sampai ada satu titik terang nantinya. Dan puji tuhan, tawaran film yang datang ke aku masih dalam batasan wajar”
Thursday, June 19, 2008
Indonesia bans foreign ads
Move, which came in a joint decree from the Ministry of Communication and Informatics (Depkominfo) and the ministry of Culture and Tourism (Depbudpar), is intended to boost the Indonesian ad industry. "Advertisements to be shown in Indonesia must use human and natural resources of Indonesia," it said.
"The joint decree is aimed at giving more opportunities to domestic production houses, and the employment of one foreign expert must be accompanied by three domestic workers for transfer of skill," communications minister Muhammad Nuh said.
Exceptions to the new ruling include commercials for tourism promotion of foreign countries, properties located outside Indonesia; international games, competition and education, and global brands that use the same actors all over the world.
Local television stations with ad revenues of $2.45 billion enjoyed a 66% share of the country's ad market last year. Newspapers accounted for 30% and magazines 4%.
Advertisement spending during the January-March 2008 period increased to $922 million from $747 million in the same period last year.
Wednesday, June 18, 2008
Duo Solaiman Beraksi Di Horor-Thriller Tionghoa
“Sebenernya ini adalah kali ketiga gue main bareng sama bokap, pertama serial TV buat di Singapore, yang kedua film JIFFEST berjudul The Anniversary, sama yang terbaru Karma ini,” tukas Verdi ketika ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta. Baginya, bermain bersama sang ayah yang sudah banyak mencicipi asam garam dunia perfilman merupakan sebuah berkah yang luar biasa, sehingga ia dapat mendapat banyak masukan dari sang ayah yang merupakan bintan di era ’80-an.
“Pengalaman emang banyakan bokap, tapi lebih sok tahu gue dibanding bokap, jadinya kita sering debat di lokasi syuting,” tambah Verdi yang mengaku sering menonton film berdua dengan sang ayah.
Karma sendiri bercerita mengenai sebuah keluarga Guan yang tidak memiliki satupun anggota perempuan di dalam keluarganya. Thiong Guan (HIM Damsyik) mempunyai anak laki-laki satu-satunya, Philip (Henky Solaiman). Phillip mempunyai dua anak laki-laki hasil dari dua perkawinan yang berbeda, bernama Martin (Verdi Solaiman) dan Armand (Joe Taslim).
“Setiap mereka mempunyai istri dan melahirkan anak laki-laki, sang ibu pasti meninggal, dan bila melahirkan anak perempuan, sang anak dan sang ibu akan meninggal. Sehingga sang kakek (Tiong Guan) tidak pernah mengizinkan semua ketururunannya untuk mempunyai hubungan dengan seorang wanita,” cerita Verdi.
Penasaran dengan apa yang terjadi dengan keluarga Guan? Nantikan film ini pada bulan Juli mendatang, bersama keahlian akting bintang lainnya macam Him Damsyik, Dominique, Jonathan Mulya, Jenny Chang, dan Joe Taslim. (ajo)
Sumpah Pocong di Sekolah, Film Horor dengan Bonus Cerita
Herrichan Pantang Menolak Rejeki
Memang bukan sekadar rejeki. Menurut Heri, kendati banyak bermain dalam genre horor, film-film yang dimainkannya umumnya diarahkan tak hanya oleh satu sutradara. ”Akhirnya kan ada motivasi untuk menambah referensi dari sutradara yang berbeda-beda,” tuturnya. Memang bukan hanya Nayato, ada sutradara Rudi Soedjarwo dan Awi Suryadi yang juga pernah mengarahkan dalam film horor.