Hingga kini, telah enam skenario yang ia tulis tayang di layar lebar. Terakhir adalah Ayat-Ayat Cinta, yang menjadi box office selama berminggu-minggu. Dalam waktu dekat kita juga akan menikmati film dia yang lain, yaitu Karma. Sampai akhir tahun 2008, Aris harus bergelut dengan banyak skenario. Ia telah dan sedang menyusun skenario untuk tujuh film, termasuk Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, dan Party Prita.
Dari kecil memang suka dengan film, dan juga gue suka nulis. Makanya pas kuliah gue ambil jurnalistik. Kenapa gue kuliah di jurnalistik, karena saat itu gue berfikir bahwa film itu ngga bisa dibikin, karena di saat gue suka film, film Indonesia ngga ada di bioskop, yang ada adalah film Hollywood. Gue tetep nonton, sampe uang jajan abis cuma buat video dan ke bioskop.
Yang gue tonton adalah Rainman, itu film yang ngerubah taste gue, dan sejak itu gue mencari film yang seperti itu. Dan gue juga jatuh cinta sama Jennifer Connelly di film Rocketeer. Gue kerjar semua filmnya dia, which is ternyata ngga ada yang bagus setelah itu. Nah karena yang gue tonton adalah film Hollywood, jadinya film itu berjarak buat gue, ngga kebayang sama gue kalo film itu bisa dibikin.
Tapi pas kuliah gue bergaul sama anak GSSTF (Gelanggang Seni Sastra, Teater dan Film) Universitas Pajajaran Bandung. Disitu gue baru tahu kalau film bisa dibuat. Waktu itu mereka lagi mau buat film pendek. Film pendek? Itu bener-bener kata yang asing buat gue saat itu. Nah saat itu baru gue tau kalau ternyata film bisa dibikin, dan lo juga bisa koq bikin film kalau memang lo mau. Nah sejak itu sebenarnya.
Maksud Hanung gini... Itu adalah pintu baginya untuk masuk ke dunia film waktu itu. Dan sekarang dia baru bilang seperti itu, setelah dia membuat banyak film. Bahwa dia menilai bahwa itu adalah film buruknya dia, itu adalah evaluasi aja buat gue. Karena dibanding dengan Get Married, atau Jomblo bahkan saat itu, memang jauh kelasnya. Tapi gue ngeliat bahwa kenapa dia ngomong kaya gitu karena usaha dia untuk bilang ke orang-orang kalo,”Gue ngga minta lo Piala Citra itu, orang gue aja nganggep film itu jelek.” Karena dia ngerasa dapet Piala Citra disitu kaya ngga pas. Tapi Hanung punya kecenderungan mekanisme defence-nya seperti itu.
Eric Sasono (kritikus film peraih Piala Citra, red.) pernah ngebedah film ini, dan mengatakan film ini sangat memojokkan institusi sekolah, sangat satu dimensi. Tapi dia tidak menganggap ini bukan suatu kekurangan, tapi suatu statement. Memang, gue juga dengan sangat sadar koq mengatakan bahwa ini bukan kesalahan teknis gue membuat karakter yang ada menjadi satu dimensi, walaupun terkadang gue juga masih suka melakukan kesalahan itu. Tapi di Catatan Akhir Sekolah gue dengan sangat sadar melakukan itu, karena memang itu statement-nya, siapa bilang sekolah itu adalah institusi yang aman. Di sekolah itu ada kekerasan domestik, anak lo bisa ngeliat gambar porno dengan gampang, mabok, ngerokok, dan kepala sekolahnya korup, karena itu yang gue alamin.
Salah satu kelemahan skenario di kita adalah masalah tema. Di saat salah satu tema sedang digemari, maka banyak bermunculan tema film seperti itu. Apakah itu semata-mata pilihan produser atau memang penulis skenario kita kemampuannya seperti itu?
Begini, penulis itu adalah kerja kreatif, dia adalah seorang kreator. Artinya, dalam terminologi paling profesionalnya bahwa dia pada dasarnya pembuat, atau tukang. Artinya apa lo mau gue bikin, itu penulis scenario. Dia akan menyikapinya dengan kreatif, itu pekerjaan profesionalnya.
Dan sekarang gue berada di titik di mana gue melihat kita kekurangan produser yang punya visi. Tapi biar bagaimanapun gue ngerti bahwa mereka industri yang butuh untuk tetap hidup. Dan akhirnya gue berharap semua berjalan dengan balance aja. Sampai akhirnya penonton yang menentukan, penonton mengarahkan, mereka kepingin seperti apa dan mereka jenuh dengan yang seperti apa.
Di situlah seninya, di mana gue melihat bahwa seorang penulis skenario itu harus punya mental solusif, cariin solusinya. Di saat produser mau seperti ini, sutradara mau seperti ini, maka penulis skenario coba mencari jalan keluar di antara dua keinginan tadi: ”Ya udah kalau seperti ini gimana?”.
Waktu di televisi pernah, itu gua pernah cariin solusi hingga sedemikian rupa tapi akhirnya mentok dan gue cabut, sampai akhirnya sekarang gue ngga pernah masuk lagi ke televisi, kecuali untuk FTV, karena pendekatannya berbeda.
Alexandria. Alexandria itu di draft ke-4 bergeser hingga 80 %, dan pergeseran itu bukan semata-mata karena nilai komersil, tapi karena Dimas Jayadiningrat datang dengan ide yang lebih bagus. Dia cerita, dan akhirnya gue terhanyut dan gue bener-bener terpikat dengan idenya dia sampai akhirnya gue setuju untuk gue ubah, tapi. Akhirnya gue ubah dalam waktu 3 hari, dan itu sebenarnya memang sering terjadi. Itulah developing.
Kalau yang membutuhkan riset pasti lebih lama. Tapi idealnya memang sekitar 6 bulan. Jadi kita punya waktu untuk berjalan pelan, ngedalemin karakternya, berhenti sebentar trus lebih ngedalemin lagi. Itu yang gue rindukan sekali dari industri ini, bahwa seorang penulis skenario punya ruang untuk merenungkan.
Bahkan bagi produser dan sutradara juga harus punya waktu lebih di pra produksi. Karena dalam triangle system tadi produser dan sutradara juga harus sama-sama menjadi penulis skenario dalam tanda kutip untuk melihat apakah ini sudah benar atau belum.
Banyak banget, banyak banget ide yang ada di kepala gue. Dan kemudian gue juga sudah memutuskan bahwa film adalah corong gue, kalau gue mau berbicara tentang mengkritik banjir pasti akan pake film, dan itu sudah ada, idenya, temanya, ceritanya, sinopsisnya bahkan udah jadi. Atau gue gemes ngga ada film action, gue akan bikin film action.
Ada satu yang pengen gue bikin, yaitu horror politik, bersatir-satir ria dengan politik, bahwa politik itu horror. Banyak yang pengen gue gali.
Nah karena basic gue adalah seorang wartawan, ya gue ngga pernah beranggapan bahwa itu adalah riset, jadi setiap bikin cerita gue anggap kaya bikin feature. Seperti cerita tentang Catatan Akhir Sekolah, karena itu bercerita tentang anak sekolah zaman sekarang, ya gue bergaul sama anak SMA sekarang. Gue jemput sepupu gue yang SMA, gue duduk bareng mereka, gue dengerin mereka ngomong apa.
Tapi ada adigium yang bilang, tulislah apa yang lo tahu untuk tahapan belajar. Gue sekarang ada dalam tahap belajar, jadi gue menulis apa yang gue tahu. Nantinya baru tulis apa yang lo peduli, karena ketika lo udah peduli lo akan mencari tahu. Jadi gue saat ini masih hanya menulis apa yang gue tahu, jadi belum terlalu banyak riset.
Gue menjadi penulis skenario karena gue adalah pencerita. I have a story to tell. Gue ingin sharing dengan orang lain, semoga gue punya kesempatan untuk menginspirasi orang dengan memakai medium film. Itu sebenarnya yang menjadi visi gue. Makanya pencapaian buat gue yang terbesar, film yang gue tulis penonton mengatakan,”Gue kenal tuh” atau “Gue banget tuh”. Artinya gue menyentuh wilayah inspirasinya mereka, itu reward paling besar.
Seberapa besar penghargaan terhadap penulis skenario, bisa dibilang secara professional atau secara ekonomi. Secara ekonomi bisa dibilang relatif lumayan sekarang, tapi masalah hak-hak yang lain yang belum terakomodir dengan baik. Kita belum adanya asosiasi, itu persoalannya. Sekarang gue bersama dengan beberapa penulis skenario yang lain sedang membuat asosiasi penulis skenario. Karena satu hal yang perlu disadari oleh penulis skenario bahwa kita berhak sebenarnya mendapat jaminan kerja, asuransi, atau berhak meminta termin pembayaran yang kita inginkan.
Hmmm... misalnya gini, pada saat karya itu dialihkan ke karya yang lain, itu seolah-olah tidak ada semcacam negosiasi dulu, seolah-olah udah harus terima jadi, karena itu haknya prodeser. Misalkan dialihkan ke sinetron atau dialihkan ke audio visual lainnya. So far itu penulis masih belum dapat apa-apa. Tapi kalau dialihkan ke sinetron itu udah lumayan, udah dicantumin royaltinya.
No comments:
Post a Comment