Akhirnya film drama itu meledak dan melambungkan pasangan duet Dian Sastrowardoyo-Nicholas Saputra. Bahkan menjadi film nasional pertama yang ditonton lebih dari satu juta orang di bioskop tanah air. Bagi Rako, film ini hanya sebuah proses belajarnya sebagai insan film. Pasalnya, dalam kapasitas sebagai penulis skenario ini menjadi kali ketiga setelah Bintang Jatuh dan Tragedy, dua film yang dibesut Rudi Soedjarwo. Kebetulan, Rako juga menjabat sebagai asisten sutradara di keduanya. Bahkan di Tragedy, diapun didapuk jadi salah satu aktor utama.
Sejenak Rako sempat mengenang film yang menjadi debutnya. Saat itu mereka nongkrong bareng Rudi Soedjarwo dan teman-teman lain macam Indra Birowo, Gary Iskak, hingga Sapto Sutardjo, tukang casting sejuta umat. Rudi yang sedang putus asa karena idenya ditolak stasiun televisi lokal mengajak untuk membuat film indie. ”Syutingnya pakai format video digital, jadi biayanya rendah,” papar Rako lagi. Kalangan muda yang sedang kangen dengan hadirnya film nasional menyambut antusias film Bintang Jatuh.
Sukses itu membuat Rako tersadar bahwa dia bisa mencari uang dari film. ”Pokoknya mati hidup dari film deh,” tegasnya. Inilah semacam titik balik yang penting bagi masa depannya kelak. Selain soal sandaran hidup, Bintang Jatuh juga membawa hikmah lain. Produser Miles Film, Mira Lesmana melirik Rako dan tim untuk menggarap film yang kemudian fenomenal itu.
Rako cukup lihai memanfaatkan kesempatan bisa dekat dengan para sineas yang lebih senior. Bersama rumah produksi Miles, Rako sempat menjadi asisten sutradara dari Riri Riza dalam Eliana, Eliana. Kemudian posisi itu masih berlanjut bersama Sekar Ayu Asmara dalam Biola tak Berdawai dan Riri dalam Gie. ”Gue mundur dari film Gie karena sakit,” tutur Rako lagi.
Setelah ilmunya dirasa cukup, barulah dia mendapat kepercayaan untuk duduk di kursi sutradara. Film Ungu Violet, yang dibayai Sinemart memperlihatkan hasrat Rako untuk menghadirkan produk artistik. Judulnya saja sudah melambangkan hal itu, ungu sebagai paduan warna merah dan biru. Warna inilah yang dipakai sebagai simbol protagonisnya. Merah adalah warna untuk Kalin (Dian Sastrowardoyo) dan biru untuk Lando (Rizky Hanggono).
Perihal seleranya yang kaya dengan elemen artistik, Rako mengaku penyebabnya lantaran keranjingan nonton. Karya-karya macam Godfather milik Francis Ford Coppola atau Crouching Tiger Hidden Dragon dari Ang Lee menjadi referensi yang selalu membekas dalam benaknya. ”Godfather itu film drama but not a simple movie,” paparnya.
Selera artistik Rako kemudian berlanjut dalam film-film berikutnya. Memang sih, tidak sekental permainan simbol warna a la Ungu Violet. Namun dari preferensi pemilihan cerita setidaknya menyiratkan sesuatu yang berbeda. Dalam D’Biji’s dan Merah Itu Cinta misalnya, dia mencoba bercerita tentang wacana queer, yang satu dengan aroma komedi dan satu lagi dengan aroma tragedi. Tak segan-segan pula dia menyebutkan film macam apa kelak yang menjadi obsesinya. ”Satu, saya ingin membuat film drama tentang tari. Mau salsa, tango, ballroom entahlah. Terus yang kedua, saya ingin membuat film horor,” tutur Rako.
Menyandarkan hidup sebagai pekerja kreatif memang pilihan tepat bagi lulusan Ekonomi Perbankan Stekpi ini. Talentanya tak hanya sekadar menulis, ia juga punya kemampuan di musik. Original soundtrack film Tragedy sempat digarapnya di tahun 2000. Di sana dia menata musik bersama Upi De Broer dengan semangat 45. Sampulnya kasetnyapun apa adanya berupa sehelai kertas fotokopian. Beberapa tembang bergenre pop dan dance sempat dituntaskannya. Dalam Eliana, Eliana, Rako juga menulis lirik tembang Cantik Berbisa, sementara komposisi musiknya dibuat oleh Djadug Ferianto. Kiprah musiknya berlanjut di film Arisan, dimana Rako sempat melantunkan tembang lawas milik Hedy Yunus, Prahara Cinta.
No comments:
Post a Comment