Friday, June 20, 2008

Buah Kelana Viva Westi

Viva Westi dilahirkan 21 September 1972 di Manokwari, ketika itu namanya masih propinsi Irian Jaya. Terjun dalam dunia film apalagi sampai menjadi sutradara mungkin tak pernah terpikir di benaknya. Namun, suatu kali ada satu kejadian yang memaksanya untuk mencemplungkan diri dalam dunia nan glamour ini.

Syahdan pada awal 1990-an, ia sedang jalan-jalan untuk nonton bioskop bersama teman kampus IISIP-nya di Taman Ismail Marzuki. Tak dinyana seorang pria mendatanginya dan kemudian berucap,“ Halo, saya Garin Nugroho. Saya mau bikin film dan saya rasa kamu cocok.“ Demikian ungkap Westi mengenang momen batu pijakan awal dia terjun di dunia gambar hidup.

Proses untuk berakting dalam film, yang kemudian diketahui bertajuk Surat untuk Bidadari itu memang tak mudah. Awalnya, tutur Westi, dirinya cenderung untuk menolak namun ketika sudah bilang setuju, eh produksinya malah batal pula. Akhirnya, setelah vakum dua bulan proyek itu jadi terlaksana. Maka berangkatlah tim SET syuting di Sumba selama sebulan. ”Syutingnya seru sekali. Di sana saya pertama ketemu dengan Nurul Arifin, Adi Kurdi, Monica Oemardi, Jajang C Noer. Itu syuting yang luar biasa.”

Rupanya kapasitas akting Westi dilirik pula oleh sutradara sekaliber Teguh Karya. Sebuah FTV yang diputar di stasiun SCTV bertajuk Indonesia Berbisik menjadi unjuk kemampuannya yang berikut. Lewat lakon yang diputar dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka ini Westi beradu akting dengan Alex Komang. Lagi-lagi di SCTV, ia kebagian peran dalam satu lakon arahan Slamet Rahardjo yang bertajuk Suro Buldog.

Jalan hidup Westi benar-benar berubah sepulangnya syuting dari Sumba. Garin menanyakan kenapa tidak mendaftar di kampus Institut Kesenian Jakarta? Kepalang hanya sekadar menjadi anak wayang, berangkatlah ia ke kampus Cikini untuk menimba ilmu penyutradaraan. Ya, jadi sutradara betulan. Sebagai pemanasan, Westi memulai langkahnya dengan mencoba menulis scenario sinetron Malam Pertama, dan Virgin The Series.

Agaknya Garin ditakdirkan punya campur tangan yang kuat dalam karir Westi. Putri dari Amril Datuk ini diajaknya terlibat dalam beberapa proyek berikut. Tahun 2002, Westi diajak berangkat ke pulau kelahirannya Papua untuk menjadi asisten sutradara Aku Ingin Menciummu Sekali Saja. Setelah itu mereka bareng Lianto Luseno dan Toni Trimarsanto menggarap Serambi. Film ini sempat diputar di ajang Un Certain Regard, Festival Film Cannes 2006.

Diam-diam ternyata Westi tak menyangkal kegemarannya terhadap film horor. Bahkan ia berteman baik dengan sutradara horor macam Arie Aziz dan Nayato Fio Nuala. ”Saya suka Nayato, saya sangat ngefans. Saya selalu bilang sama dia Suster N itu Suster Nayato...,”seloroh Westi sambil tertawa. Recycled, sebuah film milik Pang bersaudara adalah film yang disukai Westi.

Tahun 2007 Westi bertandang ke PT Virgo Putra Film. Usai berdiskusi dengan pihak produser, disepakatilah untuk mengeksekusi satu scenario horor miliknya, Suster N (Dendam Suster Ngesot). Westi sempat mengaku senewen lantaran sobat karibnya Arie Aziz menggunakan idiom suster ngesot juga untuk filmnya, namun akhirnya disepakati dengan tajuk Suster Ngesot The Movie. Apapun hasilnya, Westi tetap lega lantaran merasa sudah membuat sesuatu yang berbeda ketimbang arus utama.

”Sampai saat ini saya masih mencari produser yang ingin dibuatkan film horor. Saya mau,” celoteh Westi. Film horor itu adalah produk yang tergolong sulit dibuat. Pasalnya, shot dibikin harus benar-benar tepat saat hantunya lewat, ekspresinya pas dan itu harus melalui tipuan kamera tukasnya lagi. Intinya, membuat penonton untuk takut lebih sulit ketimbang membuat penonton menangis.

Kelana Westi dalam jagat perfilman rupanya berfaedah. Heru Winanto, produser film ketiganya ternyata orang dari Prima Entertainment, di mana dulu ia biasa menyuplai skenario. Ketika mereka bersua lagi, skenario May yang ditulis oleh Dirmawan Hatta ditawarkan kepadanya.

Lagi-lagi, Westi bersyukur karena selalu ditawari film yang berbeda-beda. ”May ini buat karir saya luar biasa, karena ada satu produser yang ngasih bujet dan kita bisa membuat film yang bagus tanpa dibebani. Ini harus banyak yang nonton ya, harus ini, harus itu.” lanjut Westi lagi.

Di matanya, May adalah satu tontonan alternatif yang berbeda karena berani mengambil kerusuhan sebagai latar belakang. Isu-isu sosial macam begini memang sudah menjadi makanannya karena beberapa ftv bertajuk macam Wo Ai Ni Indonesia atau Jangan Panggil Aku Cina pernah lahir di tangannya. Ini memang tentang perbedaan ras.

No comments: