Wednesday, June 18, 2008

Fiksi, Unik dan Misterius

Di tengah ramainya film nasional yang dirilis di tanah air, cukup banyak nama baru yang coba-coba muncul di kursi sutradara. Dan dari sekian banyak, agaknya ada satu yang memang patut diperhitungkan. Dia adalah Mouly Surya, sutradara perempuan yang baru saja merilis film Fiksi.

Mouly tak hanya seorang akademisi yang memiliki latar belakang film. Predikat magister untuk jurusan Film dan Televisi diraihnya di kampus Bond University, Gold Coast Australia. Dia juga dekat dengan lingkungan yang cukup berkarat di layar lebar. Suaminya, Parama Wirasto, adalah keponakan dari Rako Prijanto sutradara yang mengawali debutnya sebagai asisten Rudi Soedjarwo dalam Bintang Jatuh tahun 1999. Rako kemudian mengajak Mouly untuk mengasisteninya dalam film Merah itu Cinta setahun lalu.

Untuk film perdananya, Mouly disokong oleh mereka yang sudah berpengalaman. Sebut saja, Sapto Soetarjo, yang lebih dikenal sebagai casting director, untuk posisi produser hingga Joko Anwar pada skenario. Tak heran, jika Mouly punya rasa percaya diri yang tinggi dikawal oleh orang-orang sekaliber mereka.

Pertama kali akan membuat filmnya, ternyata dia sudah punya modal cerita sendiri. ”Fiksi memang obsesi saya dari lulus kuliah dulu,” tuturnya dalam sebuah perbincangan singkat.

Terilhami oleh karya besar Lewis Carroll, Alice di Negeri Ajaib, Mouly mencoba membalikkan wacana yang ada di sana. Kalau Alice pergi dari dunia nyata ke negeri ajaib, sedangkan tokoh rekaan Mouly dari khayalan ke dunia nyata. Itulah kunci yang diamanatkan Mouly kepada Joko untuk dibereskan. ”Ini adalah twist dari Alice in Wonderland, bukan Alice pergi ke negeri ajaib, tapi dia pergi dari khayalannya ke dunia nyata,” komentar Joko di dalam rilis yang dibagikan.

Fiksi adalah balada tentang seorang gadis bernama Alisha (Ladya Cherryl) yang selalu hidup dalam dunianya. Sebagai anak orang kaya dalam sebuah istana besar, Alisha selalu merasa terkurung dan hampa. Tiba-tiba saja atmosfer itu berubah ketika suatu hari dia mengenal Bari (Donny Alamsyah). Penulis yang tinggal bersama Renta (Kinaryosih) di sebuah rumah susun ternyata menyalakan kembali pelita yang selama ini redup dalam hatinya. Kebahagiaan Bari membawa perubahan dalam diri Alisha, entah rasa cinta atau apa. Tak jelas juga.

Ada hal yang menarik untuk dicermati usai menyaksikan film ini. Gaya penyutradaraan Mouly cukup unik. Mulai dari pergerakan kamera yang perlahan dan panjang hingga timbul kesan klasik, hingga tata cahaya yang a la kadarnya untuk menyiratkan kegelapan yang dialami oleh sosok-sosok yang hadir di dalamnya. Permainan simbol untuk menunjukkan kesan hampa dan dingin di rumah besar Alisha dimainkan dengan cukup kuat. Bahkan gaya busana Alisha nan retro menambah kesan misterius yang dipancarkan dengan jelas. Tata musik yang diramu Zeke Khaseli tak kalah misteriusnya. Kadang menawan macam film anak-anak, kadang akrab macam Mr Komodo yang dilantunkan tukang ngamen, kadang juga memilukan macam musik yang kerap dibawakan bersama kelompoknya, Zeke and The Popo.

Bagaimana dengan jalan cerita? Mouly agaknya cukup sadar saat menyerahkan draf naskah ini untuk dipercayakan kepada Joko Anwar. Beberapa celetukan kecil, yang mustahil merupakan ciri khas Mouly, bertebaran dengan bebas. Tak sekadar bercanda, tapi juga mencoba nyinyir bahkan pedas. ”Di Indonesia, orang selalu punya cara untuk mengritik orang lain,” seloroh tokoh Bari kepada Alisha, misalnya.

Celetukan khas Joko ini menjadi salah satu sumber kelucuan yang bernas. Bagian ini elemen yang sungguh menarik. Mereka yang mengikuti film-film Joko tentu akan bisa tertawa saat menyadari betapa amatannya terhadap lingkungan sekitar sedemikian peka. Dan inilah yang menjadikan film yang harusnya dark ini malah ringan untuk diikuti. Bagaimana jadinya sebuah drama thriller ditingkahi dengan jenaka? (bat)

No comments: